Pembinaan Akhlakul Karimah Bagi mahasiswa
Tafsir Surat An-Nisa ayat 9, 95, At-Tahrim ayat 6, At-Taghabun ayat 14-15, dan Al-A'raf 199
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar Aqidah Akhlak terhadap perilaku mahasiswa adalah salah satu kegiatan yang harus dilakukan dan diterapkan kepada mahasiswa, agar tidak terpengaruh oleh dunia bebas dan pergaulan bebas. Dengan demikian manfaat belajar pedidikan aqidah akhlak sangatlah penting dan sangat diperlukan untuk membimbing dan membina mahasiswa agar memahami dan mengetahui manfaat belajar aqidah akhlak.
Manfaat belajar pendidikan aqidah akhlak bagi mahasiswa merupakan bagian tersendiri dari pendidikan. Agama merupakan factor yang menentukan prilaku/watak dan kepribadian mahasiswa sehingga mahasiswa dapat memotivasi untuk mempraktekkan nilai-nilai keyakinan keagamaan (aqidah) dan akhlakul karimah (akhlak) dalam kehidupan sehari-hari, agar mahasiswa mempunyai perilaku dengan baik. Mahasiswa diharapkan dapat memperhatikan manfaat pendidikan pelajaran aqidah akhlak sebagai control dalam kehidupan sehari-hari.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Akhlak
2. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
3. Surat At-Tahrim Ayat 6
4. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
5. Surat Al-A’raf Ayat 199
6. Hadits yang Terkait Tentang Pembinaan Akhlak
7. Hubungannya Dengan Pembinaan Akhlak Mahasiswa Dalam Konteks Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Ya’qub, 1988: 11). Secara terminologis, Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran (Djatnika, 1996: 27). Sedang menurut al-Ghazali akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang memungkinkan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan seketika (Alavi, 2007: 313).
Kata akhlak banyak ditemukan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam (68): 4). Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186).
Menurut Imam al-Gazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah serta tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
B. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Tafsirnya
Allah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[2]
Maksudnya, anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.[3]
Surat An-Nisa Ayat 95
w ÈqtGó¡o tbrßÏè»s)ø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# çöxî Í<'ré& ÍuØ9$# tbrßÎg»yfçRùQ$#ur Îû È@Î6y «!$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 4 @Òsù ª!$# tûïÏÎg»yfçRùQ$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# Zpy_uy 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 @Òsùur ª!$# tûïÏÎg»yfßJø9$# n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# #·ô_r& $VJÏàtã ÇÒÎÈ
95. tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[4] satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[5] dengan pahala yang besar,
Tafsirnya
Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin 'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif.
Sudah jelas, bahwa orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
Apabila orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak berilmu.
Firman Allah SWT:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az Zumar: 9)
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang yang berilmu pengetahuan itu jauh lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang tidak berilmu. Apabila orang-orang yang tidak berilmu diberitakan tentang kekurangan derajatnya itu, semoga tergeraklah hati mereka untuk mencari ilmu pengetahuan dengan giat, sehingga dapat meningkatkan derajat mereka kepada derajat yang tinggi.
Ayat ini turun pada waktu terjadinya perang Badar. Di antara kaum Muslim in ada orang-orang yang tetap tinggal di rumah, dan tidak bersedia berangkat ke medan perang. Lalu turunlah ayat ini untuk mengingatkan mereka bahwa dengan sikap yang semacam itu, mereka berada pada derajat yang rendah, dibanding dengan derajat orang-orang yang berjihad dengan penuh iman dan kesadaran.
Sementara itu ada pula di antara kaum muslimin yang sangat ingin untuk ikut berjihad, akan tetapi niat dan keinginan mereka itu tidak dapat mereka laksanakan karena mereka beruzur, misalnya: karena buta, pincang, sakit dan sebagainya, dan merekapun tidak pula mempunyai benda untuk disumbangkan. Orang-orang semacam itu, tidak disamakan dengan orang-orang yang enggan berjihad, melainkan disamakan dengan orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka Akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa mereka yang benar-benar berjihad dengan harta benda dan jiwa raganya itu memperoleh martabat yang lebih tinggi satu derajat dari mereka yang tidak berjihad karena `uzur. Namun golongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah, karena iman dan niat mereka yang ikhlas.
Pada akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan pula bahwa Dia akan memberikan pahala yang jauh lebih besar kepada mereka yang berjihad, dial mereka yang tidak berjihad tanpa uzur. Berjuang atau berjihad "dengan harta benda" ialah: menggunakan harta benda milik sendiri untuk keperluan jihad, atau untuk keperluan orang lain yang turut berjihad, misalnya: bahan-bahan perbekalan berupa makanan, atau kendaraan. senjata dan sebagainya. Dan berjuang dengan "jiwa raga" berarti: ia rela mengorbankan miliknya yang paling berharga baginya, yaitu tenaga bahkan jiwanya, sekalipun ia menerima perbekalan dari orang lain, karena ia tidak mempunyainya.[6]
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
(Tidaklah sama di antara orang-orang mukmin yang duduk) maksudnya tidak ikut berjihad (tanpa mempunyai uzur) seperti tua, buta dan lain-lain; marfu` karena sifat dan manshub sebagai mustatsna (dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah berikut harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk) karena uzur (satu tingkat) atau satu kelebihan karena walaupun mereka sama dalam niat, tetapi ada tambahan pada orang-orang yang berjihad, yaitu pelaksanaan (dan kepada masing-masing) mereka dari kedua golongan itu (Allah menjanjikan pahala yang baik) yaitu surga. (Dan Allah memberi kelebihan terhadap orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk) tanpa uzur (berupa pahala yang besar) dan sebagai nya.[7]
C. Surat At-Tahrim Ayat 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Asbabun Nuzulnya
Ibnu katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah[8] tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya madu.
Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu.[9]
Tafsinya
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW. menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.[10]
D. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Firman Allah Swt dalam surat At-Taghabun : 14 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Asbabun Nuzulnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ......
turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka bermaksud menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk berhijrah.[11] Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang , bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.[12]
Ayat di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya. Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung ayat 14).
Tafsirnya
a. Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min (من) , yang berarti “daripada”, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah semua istri atau semua anak menjadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang cita-cita seorang mu’min sebagai suami atau sebagai ayah.[13]
b. Kata عَدُوًّا berarti يعادونكم و يشغلونكم عن الخير yaitu memalingkan dan menyibukkan kita sehingga jauh dari kebaikan.[14] Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.[15]
Salah satu yang menjadi contoh istri dan anak itu ada yang menjadi musuh bagi seorang mukmin seperti yang disebutkan dalam akhir surat At-Tahrim tentang istri dari dua orang nabi, sebagaimana firman Allah Swt :
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (التحريم : 14)
“Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.(At-Tahrim : 14)
Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.
Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.[16]
E. Surat Al-A’raf Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Tafsirnya
Menurut Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat islam tentang nilai-nilai akhlak.
F. Hadis yang Berkaitan Dengan Pembinaan Akhlak
عَنْ آَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ, يَقُوْلُ: مَنْ رَآَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ, فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْاِ يْمَانِ. (رواه مسلم)
Abu Sai’id Al-Khudri ra berkata: “ Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya; bila tidak mampu, maka dengan lisnnya; bila ia tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”[17] (H.R Muslim)
عن أبي سعيد سعد بن سنأ ن ألحد ري ر ضي ألله عنه: أن رسول ألله صل ألله عليه ؤ سللم قأ ل: لأ ضر ر و لأ ضرا ر
Abu Sa’id Bin Malik bin Sinan Al-Khudri ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “ Janganlah kalian saling merugikan”. (H. R Ibnu Majah, Darutqutni dan lain-lain).[18]
G. Hubungannya Dengan Pembinaan Akhlak Mahasiwa
Akhlak bukanlah merupakan barang-barang mewah yang mungkin tidak terlalu di butuhkan tetapi akhlak merupakan pokok-pokok kehidupan yang esensial, yang diharuskan agama sangat menghormati orang-orang yang memilikinya. Oleh karena Islam datang untuk mengantarkan manusia ke jenjang kehidupan yang gemilang dan bahagia serta sejahtera melalui beberapa segi keutamaan akhlak yang luhur.
Djazuli dalam bukunya Akhlaq Dasar Islam mengemukakan ada tiga kegunaan akhlakul karimah yaitu :
a. Akhlak yang baik harus ditanamkan kepada manusia supaya manusia mempunyai kepercayaan yang teguh dan berpendirian yang kuat.
b. Sifat-sifat yang terpuji atau akhlak yang baik merupakan latihan bagi pembentukan sikap sehari-hari, sefat sifat ini banyak di bicarakan dan berhubungan dengan rukun Islam sehari-hari, sifat-sifat ini banyak dibicarakan dan berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah seoperti : sholat, puasa, zakat, haji, shodaqoh, tolong menolong dan sebagainya.
c. Untuk mengatur hubungan yang baik antara manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia.
Tujuan pembinaan akhlakul karimah pada mahasiswa, pembinaan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar, berencana, teratur dan terarah serta bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan segala aspeknya. Dengan demikian, mahasiswa dibina untuk memiliki kepribadian yang sempurna, yaitu kepribadian yang mantap, yang sanggup memproduksi hal-hal yang rasional selaras dengan batas-batas kemampuan bakatnya, sanggup mempererat hubungan yang sehat dengan segala lapisan masyarakat, sanggup menanggung beban kehidupan dengan rasa tanpa adanya kontradiksi di dalam tingkah lakunya. Jadi tujuan dari pembinaan akhlakul karimah bagi mahasiswa disini adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang sempurna yang dapat dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Tiga nilai prinsip pendidikan akhlak bagi mahasiswa yang tersirat dalam dalil-dalil di atas antara lain:
1) Sikap Pemaaf
Sikap ini merupakan prinsip agama dalam bidang akhlak yang perlu direalisasikan dalam kehidupan. Dan untuk relisasinya memerlukan kedewasaan beragama dan sikap yang proporsional. Hal ini karena memaafkan orang lain yang bersalah memerlukan kelapangan dada dan kesabaran. Jika sikap ini sudah hilang, maka budaya tawuran karena dendam sepele akan sangat mudah kita jumpai dikalangan mahasiswa, yang semestinya hal ini tidak terjadi mengingat mahasiswa adalah pionir masyarakat.
2) Menyuruh Manusia Berbuat Ma’ruf
Dalam konteks masyarakat yang masih berkembang, menegakkan kebenaran dan keadilan adalah merupakan kewajiban umat islam. Sehingga perbuatan menyuruh berbuat yang ma’ruf sudah tentu dapat djadikan sebagai nilai pendidikan akhlak yang utama. Mahasiswa sebagai kaum intelektual wajib mengembangakan kepekaan sosial untuk mengajak berbuat Ma’ruf. Hal ini karena mahasiswa adalah orang-orang muda yang kuat dan memiliki peran dalam masyarakat untuk membawa sebuah bentuk perubahan.
3) Menjauhkan Diri dari Orang-orang Jahil
Oranorang jahil pada ayat ini dipandang sebagai orang yang hanya memperturutkan emosional bukan pertimbangan akal. Para mufassirin memberikan komentar tentang ayat ini dengan memberikan tindakan damai, yaitu walaupun kita dalam kondisi yang sangat marah, kita tidak boleh melawan dengan kekerasan pula.Sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, mahasiswa tentu lebih peka penilaiannya dari pada masyarakat biasa. Dalam hal ini hendaknya mahasiswa mangawasi kondisi dan keadaan lingkungan dimana dia tinggal dan turut serta menjaga masyarakat dari orang-orang jahil yang berpotensi mengajak masyarakat untuk berbuat kemungkaran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan ajaran Islam yang
meliputi akidah dan syariah (ibadah dan muamalah). Terwujudnya akhlak mulia di tengahtengah masyarakat manusia merupakan misi pokok kehadiran Nabi Muhammad saw. di muka bumi ini. Melalui proses panjang dan dengan perjuangan yang takkenal lelah akhirnya Nabi berhasil mewujudkan akhlak mulia itu di tengah-tengah masyarakatnya dan terus menyebar ke masyarakat yang lebih luas lagi hingga ke berbagai penjuru dunia. Seiring berjalannya waktu, eksistensi akhlak mulia semakin menurun kualitasnya, dan jika terus dibiarkan, akhlak mulia ini akan terus menurun bahkan menjadi hilang. Jika demikian, bukan tidak mungkin masyarakat manusia akan menjadi masyarakat yang tidak berperadaban lagi (biadab) takubahnya seperti kawanan binatang (QS. al-A’raf [7]: 179).
Salah satu cara yang cukup efektif untuk bisa mempertahankan akhlak mulia ini di tengah-tengah masyarakat manusia adalah melalui pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Islam sangat mementingkan pendidikan terutama pendidikan akhlak yang sekarang populer dengan istilah pendidikan karakter. Terkait dengan ini, M. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa inti pendidikan Islam adalah pendidikan budi pekerti (akhlak). Jadi, pendidikan budi pekerti (akhlak) adalah jiwa pendidikan dalam Islam. Mencapai akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Di samping membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, peserta didik juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian (al-Abrasyi, 1987: 1). Sejalan dengan konsep ini maka semua mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru atau dosen haruslah memerhatikan akhlak atau tingkah laku peserta didiknya.
[1] Dean Winchester, “Manfaat Belajar Pendidikan Akidah Akhlak Terhadap Perilaku Siswa”, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2027520-manfaat-belajar-pendidikan-akidah-akhlak/#ixzz1tm4GgVjZ
[2] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[3] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[4] Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[5] Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. sebagian ahli tafsir mengartikan qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur..
[6] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[7] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[8] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004) juz.8 hal.158
[9] Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
[10] Departemen Agama, Op. Cit
[11] K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
[12] Asbabun Nuzul, Hal. 580
[13] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[14] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[15] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[16]http://www.dakwatuna.com/2007/03/125/meraih-pahala-dari-fitnah-harta-dan-anak/#ixzz2F4QmLA5c oleh
Dr. Attabiq Luthfi, MA pada 7 Maret 2007
[17] Imam Nawawi, Hadits Arbain An-Nawawiyah, h. 54
[18] Imam Nawawi, Op. Cit. 52
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar Aqidah Akhlak terhadap perilaku mahasiswa adalah salah satu kegiatan yang harus dilakukan dan diterapkan kepada mahasiswa, agar tidak terpengaruh oleh dunia bebas dan pergaulan bebas. Dengan demikian manfaat belajar pedidikan aqidah akhlak sangatlah penting dan sangat diperlukan untuk membimbing dan membina mahasiswa agar memahami dan mengetahui manfaat belajar aqidah akhlak.
Manfaat belajar pendidikan aqidah akhlak bagi mahasiswa merupakan bagian tersendiri dari pendidikan. Agama merupakan factor yang menentukan prilaku/watak dan kepribadian mahasiswa sehingga mahasiswa dapat memotivasi untuk mempraktekkan nilai-nilai keyakinan keagamaan (aqidah) dan akhlakul karimah (akhlak) dalam kehidupan sehari-hari, agar mahasiswa mempunyai perilaku dengan baik. Mahasiswa diharapkan dapat memperhatikan manfaat pendidikan pelajaran aqidah akhlak sebagai control dalam kehidupan sehari-hari.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Akhlak
2. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
3. Surat At-Tahrim Ayat 6
4. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
5. Surat Al-A’raf Ayat 199
6. Hadits yang Terkait Tentang Pembinaan Akhlak
7. Hubungannya Dengan Pembinaan Akhlak Mahasiswa Dalam Konteks Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Ya’qub, 1988: 11). Secara terminologis, Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran (Djatnika, 1996: 27). Sedang menurut al-Ghazali akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang memungkinkan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan seketika (Alavi, 2007: 313).
Kata akhlak banyak ditemukan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam (68): 4). Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186).
Menurut Imam al-Gazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah serta tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
B. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Tafsirnya
Allah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[2]
Maksudnya, anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.[3]
Surat An-Nisa Ayat 95
w ÈqtGó¡o tbrßÏè»s)ø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# çöxî Í<'ré& ÍuØ9$# tbrßÎg»yfçRùQ$#ur Îû È@Î6y «!$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 4 @Òsù ª!$# tûïÏÎg»yfçRùQ$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# Zpy_uy 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 @Òsùur ª!$# tûïÏÎg»yfßJø9$# n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# #·ô_r& $VJÏàtã ÇÒÎÈ
95. tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[4] satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[5] dengan pahala yang besar,
Tafsirnya
Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin 'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif.
Sudah jelas, bahwa orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
Apabila orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak berilmu.
Firman Allah SWT:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az Zumar: 9)
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang yang berilmu pengetahuan itu jauh lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang tidak berilmu. Apabila orang-orang yang tidak berilmu diberitakan tentang kekurangan derajatnya itu, semoga tergeraklah hati mereka untuk mencari ilmu pengetahuan dengan giat, sehingga dapat meningkatkan derajat mereka kepada derajat yang tinggi.
Ayat ini turun pada waktu terjadinya perang Badar. Di antara kaum Muslim in ada orang-orang yang tetap tinggal di rumah, dan tidak bersedia berangkat ke medan perang. Lalu turunlah ayat ini untuk mengingatkan mereka bahwa dengan sikap yang semacam itu, mereka berada pada derajat yang rendah, dibanding dengan derajat orang-orang yang berjihad dengan penuh iman dan kesadaran.
Sementara itu ada pula di antara kaum muslimin yang sangat ingin untuk ikut berjihad, akan tetapi niat dan keinginan mereka itu tidak dapat mereka laksanakan karena mereka beruzur, misalnya: karena buta, pincang, sakit dan sebagainya, dan merekapun tidak pula mempunyai benda untuk disumbangkan. Orang-orang semacam itu, tidak disamakan dengan orang-orang yang enggan berjihad, melainkan disamakan dengan orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka Akan tetapi ayat ini menjelaskan bahwa mereka yang benar-benar berjihad dengan harta benda dan jiwa raganya itu memperoleh martabat yang lebih tinggi satu derajat dari mereka yang tidak berjihad karena `uzur. Namun golongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah, karena iman dan niat mereka yang ikhlas.
Pada akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan pula bahwa Dia akan memberikan pahala yang jauh lebih besar kepada mereka yang berjihad, dial mereka yang tidak berjihad tanpa uzur. Berjuang atau berjihad "dengan harta benda" ialah: menggunakan harta benda milik sendiri untuk keperluan jihad, atau untuk keperluan orang lain yang turut berjihad, misalnya: bahan-bahan perbekalan berupa makanan, atau kendaraan. senjata dan sebagainya. Dan berjuang dengan "jiwa raga" berarti: ia rela mengorbankan miliknya yang paling berharga baginya, yaitu tenaga bahkan jiwanya, sekalipun ia menerima perbekalan dari orang lain, karena ia tidak mempunyainya.[6]
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
(Tidaklah sama di antara orang-orang mukmin yang duduk) maksudnya tidak ikut berjihad (tanpa mempunyai uzur) seperti tua, buta dan lain-lain; marfu` karena sifat dan manshub sebagai mustatsna (dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah berikut harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk) karena uzur (satu tingkat) atau satu kelebihan karena walaupun mereka sama dalam niat, tetapi ada tambahan pada orang-orang yang berjihad, yaitu pelaksanaan (dan kepada masing-masing) mereka dari kedua golongan itu (Allah menjanjikan pahala yang baik) yaitu surga. (Dan Allah memberi kelebihan terhadap orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk) tanpa uzur (berupa pahala yang besar) dan sebagai nya.[7]
C. Surat At-Tahrim Ayat 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Asbabun Nuzulnya
Ibnu katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah[8] tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya madu.
Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu.[9]
Tafsinya
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW. menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.[10]
D. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Firman Allah Swt dalam surat At-Taghabun : 14 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Asbabun Nuzulnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ......
turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka bermaksud menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk berhijrah.[11] Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang , bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.[12]
Ayat di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya. Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung ayat 14).
Tafsirnya
a. Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min (من) , yang berarti “daripada”, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah semua istri atau semua anak menjadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang cita-cita seorang mu’min sebagai suami atau sebagai ayah.[13]
b. Kata عَدُوًّا berarti يعادونكم و يشغلونكم عن الخير yaitu memalingkan dan menyibukkan kita sehingga jauh dari kebaikan.[14] Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.[15]
Salah satu yang menjadi contoh istri dan anak itu ada yang menjadi musuh bagi seorang mukmin seperti yang disebutkan dalam akhir surat At-Tahrim tentang istri dari dua orang nabi, sebagaimana firman Allah Swt :
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (التحريم : 14)
“Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.(At-Tahrim : 14)
Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.
Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.[16]
E. Surat Al-A’raf Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Tafsirnya
Menurut Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat islam tentang nilai-nilai akhlak.
F. Hadis yang Berkaitan Dengan Pembinaan Akhlak
عَنْ آَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ, يَقُوْلُ: مَنْ رَآَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ, فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْاِ يْمَانِ. (رواه مسلم)
Abu Sai’id Al-Khudri ra berkata: “ Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya; bila tidak mampu, maka dengan lisnnya; bila ia tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”[17] (H.R Muslim)
عن أبي سعيد سعد بن سنأ ن ألحد ري ر ضي ألله عنه: أن رسول ألله صل ألله عليه ؤ سللم قأ ل: لأ ضر ر و لأ ضرا ر
Abu Sa’id Bin Malik bin Sinan Al-Khudri ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “ Janganlah kalian saling merugikan”. (H. R Ibnu Majah, Darutqutni dan lain-lain).[18]
G. Hubungannya Dengan Pembinaan Akhlak Mahasiwa
Akhlak bukanlah merupakan barang-barang mewah yang mungkin tidak terlalu di butuhkan tetapi akhlak merupakan pokok-pokok kehidupan yang esensial, yang diharuskan agama sangat menghormati orang-orang yang memilikinya. Oleh karena Islam datang untuk mengantarkan manusia ke jenjang kehidupan yang gemilang dan bahagia serta sejahtera melalui beberapa segi keutamaan akhlak yang luhur.
Djazuli dalam bukunya Akhlaq Dasar Islam mengemukakan ada tiga kegunaan akhlakul karimah yaitu :
a. Akhlak yang baik harus ditanamkan kepada manusia supaya manusia mempunyai kepercayaan yang teguh dan berpendirian yang kuat.
b. Sifat-sifat yang terpuji atau akhlak yang baik merupakan latihan bagi pembentukan sikap sehari-hari, sefat sifat ini banyak di bicarakan dan berhubungan dengan rukun Islam sehari-hari, sifat-sifat ini banyak dibicarakan dan berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah seoperti : sholat, puasa, zakat, haji, shodaqoh, tolong menolong dan sebagainya.
c. Untuk mengatur hubungan yang baik antara manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia.
Tujuan pembinaan akhlakul karimah pada mahasiswa, pembinaan adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar, berencana, teratur dan terarah serta bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan segala aspeknya. Dengan demikian, mahasiswa dibina untuk memiliki kepribadian yang sempurna, yaitu kepribadian yang mantap, yang sanggup memproduksi hal-hal yang rasional selaras dengan batas-batas kemampuan bakatnya, sanggup mempererat hubungan yang sehat dengan segala lapisan masyarakat, sanggup menanggung beban kehidupan dengan rasa tanpa adanya kontradiksi di dalam tingkah lakunya. Jadi tujuan dari pembinaan akhlakul karimah bagi mahasiswa disini adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang sempurna yang dapat dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Tiga nilai prinsip pendidikan akhlak bagi mahasiswa yang tersirat dalam dalil-dalil di atas antara lain:
1) Sikap Pemaaf
Sikap ini merupakan prinsip agama dalam bidang akhlak yang perlu direalisasikan dalam kehidupan. Dan untuk relisasinya memerlukan kedewasaan beragama dan sikap yang proporsional. Hal ini karena memaafkan orang lain yang bersalah memerlukan kelapangan dada dan kesabaran. Jika sikap ini sudah hilang, maka budaya tawuran karena dendam sepele akan sangat mudah kita jumpai dikalangan mahasiswa, yang semestinya hal ini tidak terjadi mengingat mahasiswa adalah pionir masyarakat.
2) Menyuruh Manusia Berbuat Ma’ruf
Dalam konteks masyarakat yang masih berkembang, menegakkan kebenaran dan keadilan adalah merupakan kewajiban umat islam. Sehingga perbuatan menyuruh berbuat yang ma’ruf sudah tentu dapat djadikan sebagai nilai pendidikan akhlak yang utama. Mahasiswa sebagai kaum intelektual wajib mengembangakan kepekaan sosial untuk mengajak berbuat Ma’ruf. Hal ini karena mahasiswa adalah orang-orang muda yang kuat dan memiliki peran dalam masyarakat untuk membawa sebuah bentuk perubahan.
3) Menjauhkan Diri dari Orang-orang Jahil
Oranorang jahil pada ayat ini dipandang sebagai orang yang hanya memperturutkan emosional bukan pertimbangan akal. Para mufassirin memberikan komentar tentang ayat ini dengan memberikan tindakan damai, yaitu walaupun kita dalam kondisi yang sangat marah, kita tidak boleh melawan dengan kekerasan pula.Sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, mahasiswa tentu lebih peka penilaiannya dari pada masyarakat biasa. Dalam hal ini hendaknya mahasiswa mangawasi kondisi dan keadaan lingkungan dimana dia tinggal dan turut serta menjaga masyarakat dari orang-orang jahil yang berpotensi mengajak masyarakat untuk berbuat kemungkaran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan ajaran Islam yang
meliputi akidah dan syariah (ibadah dan muamalah). Terwujudnya akhlak mulia di tengahtengah masyarakat manusia merupakan misi pokok kehadiran Nabi Muhammad saw. di muka bumi ini. Melalui proses panjang dan dengan perjuangan yang takkenal lelah akhirnya Nabi berhasil mewujudkan akhlak mulia itu di tengah-tengah masyarakatnya dan terus menyebar ke masyarakat yang lebih luas lagi hingga ke berbagai penjuru dunia. Seiring berjalannya waktu, eksistensi akhlak mulia semakin menurun kualitasnya, dan jika terus dibiarkan, akhlak mulia ini akan terus menurun bahkan menjadi hilang. Jika demikian, bukan tidak mungkin masyarakat manusia akan menjadi masyarakat yang tidak berperadaban lagi (biadab) takubahnya seperti kawanan binatang (QS. al-A’raf [7]: 179).
Salah satu cara yang cukup efektif untuk bisa mempertahankan akhlak mulia ini di tengah-tengah masyarakat manusia adalah melalui pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Islam sangat mementingkan pendidikan terutama pendidikan akhlak yang sekarang populer dengan istilah pendidikan karakter. Terkait dengan ini, M. Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa inti pendidikan Islam adalah pendidikan budi pekerti (akhlak). Jadi, pendidikan budi pekerti (akhlak) adalah jiwa pendidikan dalam Islam. Mencapai akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Di samping membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, peserta didik juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian (al-Abrasyi, 1987: 1). Sejalan dengan konsep ini maka semua mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik haruslah mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru atau dosen haruslah memerhatikan akhlak atau tingkah laku peserta didiknya.
[1] Dean Winchester, “Manfaat Belajar Pendidikan Akidah Akhlak Terhadap Perilaku Siswa”, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2027520-manfaat-belajar-pendidikan-akidah-akhlak/#ixzz1tm4GgVjZ
[2] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[3] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[4] Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[5] Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. sebagian ahli tafsir mengartikan qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur..
[6] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[7] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[8] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004) juz.8 hal.158
[9] Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
[10] Departemen Agama, Op. Cit
[11] K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
[12] Asbabun Nuzul, Hal. 580
[13] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[14] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[15] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[16]http://www.dakwatuna.com/2007/03/125/meraih-pahala-dari-fitnah-harta-dan-anak/#ixzz2F4QmLA5c oleh
Dr. Attabiq Luthfi, MA pada 7 Maret 2007
[17] Imam Nawawi, Hadits Arbain An-Nawawiyah, h. 54
[18] Imam Nawawi, Op. Cit. 52