Amar Ma'ruf dalam Tinjauan Pendidikan
Tafsir Surat An - Nahl ayat 125 dan Surat Ali Imran ayat 104, 110, dan 114
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat yang paling baik didunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat. Yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka mampu menjadikan tanah arab tunduk dan patuh pada naungan Islam.
Kalian adalah umat yang paling baik di alam wujud sekarang, karena kalian adalah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalian adalah orang-orang yang iman dengan cara yang benar. Yang bekasnya tampak pada jiwa kalian, sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya kalian umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak iman secara benar.
Gambaran dengan sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitab ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi SAW. Dan para sahabat yang bersama beliau yang pada sewaktu Al-Qur’an di turunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka berpegang pada tali agama Allah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat. Sebab iman telah masuk dalam kalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi saw, disegala keadaan dan kondisi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Amar Ma’ruf?
2. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125?
3. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 104, 110, Dan 114?
4. Hubungannya Dengan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amar Ma’ruf
Kata الأمر merupakan bentuk yang dapat dipahami bahwasanya itu menandakan adanya perintah, seperti yang dikatakan kepada orang lain seperti إفعل , kata ini mengisayaratkan agar perintah tersebut mesti dikerjakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Majmu’ Fatawa menyebutkan pengertian الأمر yaitu: “Sesungguhnya perintah (al-amr) yaitu menuntut dan kehendak untuk melakukan sesuatu perbuatan”[1]
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakannya berputar di atas makna ‘semua perkara yang diketahui dan dimaklumi oleh manusia satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara istilah, ma’ruf bermakna ‘semua perkara yang diketahui, diperintahkan, dan dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan, dan yang paling utamanya adalah beriman kepada Allah -Ta’ala- dan mentauhidkan-Nya’.[2]
B. Surat An-Nahl Ayat 125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[3] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[4] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[5]
Tafsirnya
a. Tafsir Al-Jalaalayn
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”[6]
b. Tafsir al-Qurthuby
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)”[7]
c. Tafsir At-Thabary
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.)”[8]
d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)[9]
C. Surat Ali Imran Ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[10]; merekalah orang-orang yang beruntung.
Asbabun Nuzulnya
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demikianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 104.
Tafsirnya
Menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi tugas dan kewajiban umat manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ummat, memiliki tugas dan kewajiban untuk mengajak dan membawa manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima oleh akal dan jiwa yang sehat.
Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut, terdapat dua kata penting, yaitu me-nyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau yang dapat dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima oleh manusia, dan dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas untuk dikerjakan.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر itu adalah menyeru untuk melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah, maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. .
Di dalam ayat 104 surat Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون الى الـخـيـرmengajak pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini adalah Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah, menurut Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan sehingga dapat membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka pentingnya juru dakwah atau da’i memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka memiliki dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dikalangan umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya, bila dakwah ke dalam, diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran beragamanya, sehingga mampu melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya agar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama damai dan memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Dalam konteks ini ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى الـخـيـر). Kedua, mengajak orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر) dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama. Oleh karena itu, ke-simpulan umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر). Karena perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni menyampaikan yang baik dan melarang kepada yang munkar.[11]
D. Surat Ali Imran Ayat 110
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Tafsirnya
Firman Allah “kuntum khaira ummah”, Imam Bukhari berkata: dari Muhammd Bin Yusuf, darri Sufyan Ibn Maysarah, dari Abi Haazim dari Abi Hurairah Ra, (kuntum khairo ummah ukhrijat linnas) berkata: “sebaik-baik manusia untuk manusia yang lain yaitu datang kepada mereka dengan terbelenggu leher-leher mereka sampai mereka masuk ke dalam Islam, dan seperti ini yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid dan ‘Ithiyah al-‘Ufi. Dapat berarti pula sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya”.
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia yang pandai diantara mereka dan paling bertakwa diantara mereka, dan menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari perbuatan yang munkar, menyambung tali silaturahim”. (diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya).[12]
Penafsiran yang kuat menurut Ibnu katsir bahwa sebaik-baik manusia adalah para shahabat yang membersamai Rasulullah, kemudian seterusnya dan seterusnya.[13] Mereka yang berhijrah bersama Rasulullah, dari Mekkah ke Madinah[14], dapat pula berarti generasi awal Islam[15]kemudian yang meneruskan da’wah Rasulullah Saw yang diperintahkan Allah kepada kaum Muslimin untuk ditaati mereka.[16]
Khairu Ummah yaitu orang-orang yang menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhi dari pada yang munkar, dan beriman kepada Allah.[17] dan termasuk dari pada mereka pula adalah para Muhahid dan para Syuhada’.[18]
Kemudian firman Allah “walau aamana ahlul kitab” : seandainya orang-orang ahli taurat dan injil dari golongan Yahudi dan Nashara membenarkan ke Rasulan Nabi Muhammad Saw., yang demikian itu tidak lain datangnya dari Allah (petunjuk dari Allah)[19]. Lakana khorallahun yakni yang demikian itu lebih baik bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Minhumul mu’minun: yakni ahli kitab dari golongan orang nasrani dan Yahudi yang mereka membenarkan Rasulullah Saw., dan masuk Islam. Mereka itu yakni Abdullah bin salam dan saudaranya, Tsa’labah dan saudaranya, dan pemuda-pemuda yang beriman kepda Allah dan membernarkan kerasulan Nabi Muhammad Saw., dan mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka dari Allah, kemudian firman Allah “wa aktsaruhumul fasiqun”, yakni mereka kembali kepada agama mereka yakni merkea yang pada mulanya beriman kepada Allah kemudian beriman kepada apa-apa yang ditrunkan Allah kepada nabi-Nya yakni Muhammad Saw., kemudian mereka kembali kepada agama mereka. Mereka itulah orang-orang fasiq.
E. Surat Ali Imran Ayat 114
cqãYÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# crããBù'tur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ytur Ç`tã Ìs3YßJø9$# cqããÌ»|¡çur Îû ÏNºuöyø9$# Í´¯»s9'ré&ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÊÍÈ
114. mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.
Tafsirnya
Mereka yang dimaksud oleh ayat tersebut adalh ahli kitab. Diantara ada yang berpegang teguh kepada kebenaran, menegakkakn keadilan, tidak berbuat zalim kepada orang lain, tidak menyalahi perintah agama, membaca ayat-ayat al-qur’an dan bersujud denga tahajud di malam hari. Mereka juga beriman kepada allah, memerintahkankan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Kembali kepada masalah pokok diatas, yaitu tentang amar ma’ruf nahi mungkar. Berbuat ma’ruf diambil dari kata uruf, yang dikenal, yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat. Jadi perbuatan yang ma’ruf apabila dikerjakan, dapat diterima dan dapat dipahami oleh manusia serta dipuji, karna begitulah yang patut yang dibuat oleh manusia yang berakal. Sedangkan yang mungkar artinya ialah yang dibenci, yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas, tidak selayaknya dikerjakan oleh manusia berakal.[20]
Menurut al-maragi yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah ma istahsanahu al-syar’wa al-‘aql (sesuatu yang dipandang baik menurut agama dan akal). Sedangkan al-mungkar adalah dlidduhu (lawan atau kebalikan al-ma’ruf).[21]
Selanjutnya dalam mu’jam mufradat alfadz al-qur’an, yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah isim li kull fi’yu’rafu bi al- ‘aql aw al-asyar’ busnubu (nama bagi setiap perbuatan yang diakui mengandung kebaikan menurut pandangan akal dan agama).sedangkan, al-mungkar adalah al-mungkar adalah mayunkiru bihima(sesuatu yang ditentang oleh akal dan agama). Dalam pada itu muhammad abduh mengatakan fa- al amr bi al-ma’ruf w al-nahyu ‘an al-mungkar huffadz al-jama’ah wa siyaj al- wahdah ( amar ma’ruf nahi mungkar adalah benteng pemelihara umat dann pangkal timbulnya persatuan).
Dalam pada itu abul ‘ala al maududi berpendapat bahwa kata ,ma’ruf yang jamaknya ma’rufat adalah nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima dengan baik oleh hati nurani manusia.
Jadi bahwa amar ma’ruf dapat diartikan sebagai setiap usaha mendorong dan menggerakkan ummat manusia untuk menerima dan melaksanakan hal-hal yang sepanjang masa relah diterima sebagai suatu kebajikan berdasarkan penilaian hati nurani manusia, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda denagn pendapat yang dikemukakan para pakar terdahulu yang menilai yang menilai bahwa amar ma’ruf bukan hanya di nilai baik berdasarkan hati nurani, melainkan berdasarkan pula pada syariat atau wahyu.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk kategori al-ma’ruf adalah segala sesuatu dalam bentuk bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik menurut syari’at (agama) dan akal pikiran, atau dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syar’at.[22]
F. Hubungan Dengan Pendidikan
Pertama, dilihat dari segi sasarannya, dakwah dan pendidikan memiliki sasaran yang sama, yaitu manusia, bedanya, dalam berdakwah sasarannya terkadang ada yang dikelompokkan. Dalam berdakwah terkadang dilakukakan kedalam kelompok sasarannya dari berbagai latar belakang jenis kelamin, usia, tingkat kecerdasan, dan lain sebagainya yang berbeda-beda menjadi satu seperti yang terlihat pada dakwah dimasjid- masjid, masjlis taklim dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pendidikan sasarannya lebih terklasifikasi berdasarkan perbedaan usia, kecerdasan dan lain sebagainya. Namun demikian ayat-ayat tersebut mengingatkan tentang pentingnya memahami psikologi kelompok sasaran dakwah yakni ada kelompok awam, khawas, khawas dan khasil khawas melalui pendidikan.
Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup atau materi yang disampaikan dalam dakwah dan pendidikan, tampak memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa ruang lingkup atau materi dakwah dan pendidikan pada intinya harus sejalan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Bedanya bahwa ruanglingkup atau materi dalam berdakwah lebih umum atau tidak terperinci dan lebih mengambarkan motivasi secara global. Sedagkan dalam pendidikan ruanglinkup atau materi berdakwah lebih terperinci sebagaimana dituangkan dalam dan silabi yang harus dicapai pada setiap semester, triwulan dan setiap kali tatap muka. Perbedaan dakwah dan pendidikan dapat diumpamakan dengan obat/ vitamin dan makan nasi. Berdakwah lebih diarahkan pada motivasi agar setiap orang terdorong untuk melaksanakan ajaran, seperti orang yang makan obat agar timbul nafsu makan, dan setelah nafsu makan, maka orang tersebut jangan diberi obat atau vitamin terus, tetapi harus diberi nasi, makanan, minuman dan lain sebaginya.
Ketiga, dari segi tujuannya, antara dakwah dan pendidikan memiliki persamaan dan berbedaan. Dakwah dan pendidikan sama-sama bertujuan mengubah sikap mental manusia dengan cara diberikan motivasi dan ajaran-ajaran, agar orang-orang terbut mau melaksanakan ajaran islam dalam arti seluas-luasnya, sehingga ia dapat melaksanakan ajaran islam dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga ia dapat melaksanakan fungsi kekhalifannya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Naumun demikian dalam pendidikan terdapat perumusan pendidikan yang bertingkat-tingkat. Yaitu rumusan tujuan yang bersifat universal, nasional, instituasional, kurikuler, mata pelajaran, pokok bahasan, an sub pokok bahasa. Khiarkis tujuan serupa ini tidak dijmpai dalam rumusan tujuan dakwah. Denga kata lain, didalam pendidikan disamping terdapat tujuan universalyang berjangka panjang dan sulit diukur waktu yang singkat, juga terdapat tujuan yang khusus yang berjangka pendek dan dapat dengan mudah diukur pada setiap setiap akhir pelajaran. Dalam berdakwah, tujuan yang rencanakan tampak bersifat umum, bahkan dalam berdakwah yang tradisonal, tidak terdapat rumusan tujuan sama sekali.
Keempat, dilihat dari degi caranya, terdapat persamaan dan perbedaan antara dakwah dan pendidikan, persamaannya dalam berdakwah sebagaimana dikemukakan diatas paling kurang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu denga hikamah, mau’idxah hasanah dan mujadalah. Didalam pendidikanpun ketiga cara tersebut dapat pula dilakukan. Perbedaannya dalam pendidikan cara atau metode yang digunakan disamping tiga cara tersebut masih banyak lagi bervariasinya, seperti ceramah, diskusi, keteladanan, kisah, sosiodrama,simulasi, problem solving, karya wisata dan lain-lain. Dengan kata lain dalam pendidikan, jauh lebih bervariasi dan berkembang dibandingkan dengan metode dakwah.
Kelima, dilihat dari segi hukumna, terdapat pula persamaan antara dakwah dan pendidikan, yaitu ada yang termasuk dedalam kategori yang hukumnya wajib bagi semua individu(fardlu ain) dan ada yang hukumnya fardlu kifayah. Dakwah dan pendidikan hukumnya wajib dilakukan oleh setiap individu, manakala dalam dakwah dan pendidikan tersebut bersifat umum, yaitu dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja sesuai keadaan dan kemampuan yang bersangjutan. Dakwah dan pendiidkan hukumnya fardlu kifayah, manakala yang dimaksud dengan dakwah dan pendidikan tersebut dalam arti yang khusus, yaitu dakwah dan pendidikan yang terprogam secara sistematis dan berkesinambungan, ruang lingkup, sasaran dan tujuan yang khusus, serta perlu keahlian khusus pula bagi orang yang melakukannya.
Sehubungan hal tersebut, maka perlu adanya kerjasama yang baik dan seerat mungkin antara kegiatan dakwah dengan pendidikan. Harus harus mendorong masyarakat agar mau meingkatkan kuallitas dirinya dengan cara meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan dalam arti yang luas. Demikian pula pendidikan pun harus mendorong masyarakat agar mau melakukan dakwah dan mengamalkan ajaran amar ma’ruf nahi mungkar. Pendidikan islam menepati posisi sentral dalam upaya mensosialisasikan ajaran-ajaran islam, baik secara individu maupun sosial diberbagai aspek kehidupan mansia. Pendidikan islam berkepentingan menginternalisasikan nilai-nilai iman, takwa, dan moral kepada anak didik agar memiliki komitmen religius yang tinggi dalam mengembangkan pengethuan dan keterampilannya untuk beramal dan berkarya yang paa gilrannya melahirkan budaya yang agamis. Dengan demikian hubungan dakwah dan pendidikan sangatlah erat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengarungi lautan kehidupan di dunia ada dua hal yang tidak pernahkita sunyi darinya, dimana kita mempunyai pilihan atas dua hal tersebut yaitu kebaikan dan disisi lain yang disebut kemunkaran.
Mengingat bahwa kebaikan merupakan idaman bagi semua manusia karena dengan kebaikan itu berujung kepada kebahagian, sedangkan kemujnkaran merupakan pangkal dari penderitaan dan kesengsaraan, maka Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur telah memberikan akal dan pikiran bagi manusia untuk memilih satu diantara keduanya dengan menggunakan tolok ukur syari'at. Dimana umat muslim, untuk itu mendapatkan perintah untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Untuk bagaimana dapat terciptanya kebaikan dan dijauhinya kemunkaran tersebut, lahirlah perintah untuk melakukan anjuran untuk berbuat baik dan meninggalkan kemunkaran yang dikenal sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Dengan adanya peran amar ma’ruf nahi munkar yang dialamatkan kepada setiap individu maupun kepada masyarakat secara luas, maka keburukan, kerusakan dan kemudharatan tersebut dapat ditiadakan atau diminimalisir serta sebaliknya kebaikan dan kemaslahatan akan dapat diciptakan. Sehingga peran amar ma’ruf nahi munkar ini sangatlah besar dirasakan manfaatnya bagi seluruh hamba Allah Yang Maha Pemurah.
[1] Syaikhul Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, (1418h/ 1997), Jilid 28 h. 168
[2] Http://Al-Atsariyyah.Com/?P=142 , Tanggal 28 Maret 2010
[3] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
[4] Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1
[5] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H, Hal.613/IV.
[6]Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, Halaman 363.
[7]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, Hal.200/10.
[8]Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Muassatur Risalah, Mesir, 1420 H, Hal.321/17
[9]Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim,Dar At-Thoyyibah Linasyri wa Tawji’, Madinah 1420 H,Hal.613/IV.
[10] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar.
[12] Abi Abdullah Muhammad Ibn Abu Al-Qurthubi, “Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an”, Beirut Lebanon: Muassasah Ar- Risalah, 2006 M/ 1427 H, Juz 5, Hal. 344
[13] Ibid
[14] Berdasarkan Penasiran Ibnu Abbas: Yakni Mereka Adalah Para Shahabat Yang Ikut Berhijrah Bersama Rasulullah Dari Mekkah. Lihat Tafsir Ath Thabari: Juz 7, Hal. 100
[15] Al-Qurthubi, Ibid, Hal. 294
[16] Ath Thabari, “Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an”, Kairo: Maktabah Hajr, 2001m/1422h, Bab. 103 Juz 7, Hal. 101
[17] Ibid, Hal. 102
[18] Ibid, Juz 4,Hal 170
[19] Ibid, Juz 4,Hal 172
[20] Hamka, tafsir al-azhar juz 4 , Jakarta : Pustaka tanjimas, 1983. h: 29
[21] Abudin nata , tafsir ayat –ayat pendidikan h : 178
[22] Abudin nata, tafsir ayat –ayat pendidikan :178
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat yang paling baik didunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat. Yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin pada masa Nabi, dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka mampu menjadikan tanah arab tunduk dan patuh pada naungan Islam.
Kalian adalah umat yang paling baik di alam wujud sekarang, karena kalian adalah orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalian adalah orang-orang yang iman dengan cara yang benar. Yang bekasnya tampak pada jiwa kalian, sehingga terhindarlah kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya kalian umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak iman secara benar.
Gambaran dengan sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitab ayat ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi SAW. Dan para sahabat yang bersama beliau yang pada sewaktu Al-Qur’an di turunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka berpegang pada tali agama Allah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Orang-orang yang lemah diantara mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat. Sebab iman telah masuk dalam kalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukan untuk mencapai tujuan Nabi saw, disegala keadaan dan kondisi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Amar Ma’ruf?
2. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125?
3. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 104, 110, Dan 114?
4. Hubungannya Dengan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amar Ma’ruf
Kata الأمر merupakan bentuk yang dapat dipahami bahwasanya itu menandakan adanya perintah, seperti yang dikatakan kepada orang lain seperti إفعل , kata ini mengisayaratkan agar perintah tersebut mesti dikerjakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Majmu’ Fatawa menyebutkan pengertian الأمر yaitu: “Sesungguhnya perintah (al-amr) yaitu menuntut dan kehendak untuk melakukan sesuatu perbuatan”[1]
Makna ma’ruf secara bahasa kebanyakannya berputar di atas makna ‘semua perkara yang diketahui dan dimaklumi oleh manusia satu dengan yang lainnya dan mereka tidak mengingkarinya’. Adapun secara istilah, ma’ruf bermakna ‘semua perkara yang diketahui, diperintahkan, dan dipuji pelakunya oleh syari’at, maka masuk di dalamnya semua bentuk ketaatan, dan yang paling utamanya adalah beriman kepada Allah -Ta’ala- dan mentauhidkan-Nya’.[2]
B. Surat An-Nahl Ayat 125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[3] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[4] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[5]
Tafsirnya
a. Tafsir Al-Jalaalayn
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”[6]
b. Tafsir al-Qurthuby
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)”[7]
c. Tafsir At-Thabary
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.)”[8]
d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)[9]
C. Surat Ali Imran Ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[10]; merekalah orang-orang yang beruntung.
Asbabun Nuzulnya
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demikianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 104.
Tafsirnya
Menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi tugas dan kewajiban umat manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ummat, memiliki tugas dan kewajiban untuk mengajak dan membawa manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima oleh akal dan jiwa yang sehat.
Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut, terdapat dua kata penting, yaitu me-nyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau yang dapat dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima oleh manusia, dan dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas untuk dikerjakan.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر itu adalah menyeru untuk melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah, maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. .
Di dalam ayat 104 surat Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون الى الـخـيـرmengajak pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini adalah Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah, menurut Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan sehingga dapat membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka pentingnya juru dakwah atau da’i memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka memiliki dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dikalangan umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya, bila dakwah ke dalam, diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran beragamanya, sehingga mampu melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya agar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama damai dan memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Dalam konteks ini ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى الـخـيـر). Kedua, mengajak orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر) dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama. Oleh karena itu, ke-simpulan umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر). Karena perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni menyampaikan yang baik dan melarang kepada yang munkar.[11]
D. Surat Ali Imran Ayat 110
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Tafsirnya
Firman Allah “kuntum khaira ummah”, Imam Bukhari berkata: dari Muhammd Bin Yusuf, darri Sufyan Ibn Maysarah, dari Abi Haazim dari Abi Hurairah Ra, (kuntum khairo ummah ukhrijat linnas) berkata: “sebaik-baik manusia untuk manusia yang lain yaitu datang kepada mereka dengan terbelenggu leher-leher mereka sampai mereka masuk ke dalam Islam, dan seperti ini yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid dan ‘Ithiyah al-‘Ufi. Dapat berarti pula sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya”.
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia yang pandai diantara mereka dan paling bertakwa diantara mereka, dan menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, dan mencegah mereka dari perbuatan yang munkar, menyambung tali silaturahim”. (diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya).[12]
Penafsiran yang kuat menurut Ibnu katsir bahwa sebaik-baik manusia adalah para shahabat yang membersamai Rasulullah, kemudian seterusnya dan seterusnya.[13] Mereka yang berhijrah bersama Rasulullah, dari Mekkah ke Madinah[14], dapat pula berarti generasi awal Islam[15]kemudian yang meneruskan da’wah Rasulullah Saw yang diperintahkan Allah kepada kaum Muslimin untuk ditaati mereka.[16]
Khairu Ummah yaitu orang-orang yang menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhi dari pada yang munkar, dan beriman kepada Allah.[17] dan termasuk dari pada mereka pula adalah para Muhahid dan para Syuhada’.[18]
Kemudian firman Allah “walau aamana ahlul kitab” : seandainya orang-orang ahli taurat dan injil dari golongan Yahudi dan Nashara membenarkan ke Rasulan Nabi Muhammad Saw., yang demikian itu tidak lain datangnya dari Allah (petunjuk dari Allah)[19]. Lakana khorallahun yakni yang demikian itu lebih baik bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Minhumul mu’minun: yakni ahli kitab dari golongan orang nasrani dan Yahudi yang mereka membenarkan Rasulullah Saw., dan masuk Islam. Mereka itu yakni Abdullah bin salam dan saudaranya, Tsa’labah dan saudaranya, dan pemuda-pemuda yang beriman kepda Allah dan membernarkan kerasulan Nabi Muhammad Saw., dan mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka dari Allah, kemudian firman Allah “wa aktsaruhumul fasiqun”, yakni mereka kembali kepada agama mereka yakni merkea yang pada mulanya beriman kepada Allah kemudian beriman kepada apa-apa yang ditrunkan Allah kepada nabi-Nya yakni Muhammad Saw., kemudian mereka kembali kepada agama mereka. Mereka itulah orang-orang fasiq.
E. Surat Ali Imran Ayat 114
cqãYÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# crããBù'tur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ytur Ç`tã Ìs3YßJø9$# cqããÌ»|¡çur Îû ÏNºuöyø9$# Í´¯»s9'ré&ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÊÊÍÈ
114. mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.
Tafsirnya
Mereka yang dimaksud oleh ayat tersebut adalh ahli kitab. Diantara ada yang berpegang teguh kepada kebenaran, menegakkakn keadilan, tidak berbuat zalim kepada orang lain, tidak menyalahi perintah agama, membaca ayat-ayat al-qur’an dan bersujud denga tahajud di malam hari. Mereka juga beriman kepada allah, memerintahkankan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Kembali kepada masalah pokok diatas, yaitu tentang amar ma’ruf nahi mungkar. Berbuat ma’ruf diambil dari kata uruf, yang dikenal, yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat. Jadi perbuatan yang ma’ruf apabila dikerjakan, dapat diterima dan dapat dipahami oleh manusia serta dipuji, karna begitulah yang patut yang dibuat oleh manusia yang berakal. Sedangkan yang mungkar artinya ialah yang dibenci, yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas, tidak selayaknya dikerjakan oleh manusia berakal.[20]
Menurut al-maragi yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah ma istahsanahu al-syar’wa al-‘aql (sesuatu yang dipandang baik menurut agama dan akal). Sedangkan al-mungkar adalah dlidduhu (lawan atau kebalikan al-ma’ruf).[21]
Selanjutnya dalam mu’jam mufradat alfadz al-qur’an, yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah isim li kull fi’yu’rafu bi al- ‘aql aw al-asyar’ busnubu (nama bagi setiap perbuatan yang diakui mengandung kebaikan menurut pandangan akal dan agama).sedangkan, al-mungkar adalah al-mungkar adalah mayunkiru bihima(sesuatu yang ditentang oleh akal dan agama). Dalam pada itu muhammad abduh mengatakan fa- al amr bi al-ma’ruf w al-nahyu ‘an al-mungkar huffadz al-jama’ah wa siyaj al- wahdah ( amar ma’ruf nahi mungkar adalah benteng pemelihara umat dann pangkal timbulnya persatuan).
Dalam pada itu abul ‘ala al maududi berpendapat bahwa kata ,ma’ruf yang jamaknya ma’rufat adalah nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima dengan baik oleh hati nurani manusia.
Jadi bahwa amar ma’ruf dapat diartikan sebagai setiap usaha mendorong dan menggerakkan ummat manusia untuk menerima dan melaksanakan hal-hal yang sepanjang masa relah diterima sebagai suatu kebajikan berdasarkan penilaian hati nurani manusia, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda denagn pendapat yang dikemukakan para pakar terdahulu yang menilai yang menilai bahwa amar ma’ruf bukan hanya di nilai baik berdasarkan hati nurani, melainkan berdasarkan pula pada syariat atau wahyu.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk kategori al-ma’ruf adalah segala sesuatu dalam bentuk bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik menurut syari’at (agama) dan akal pikiran, atau dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syar’at.[22]
F. Hubungan Dengan Pendidikan
Pertama, dilihat dari segi sasarannya, dakwah dan pendidikan memiliki sasaran yang sama, yaitu manusia, bedanya, dalam berdakwah sasarannya terkadang ada yang dikelompokkan. Dalam berdakwah terkadang dilakukakan kedalam kelompok sasarannya dari berbagai latar belakang jenis kelamin, usia, tingkat kecerdasan, dan lain sebagainya yang berbeda-beda menjadi satu seperti yang terlihat pada dakwah dimasjid- masjid, masjlis taklim dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pendidikan sasarannya lebih terklasifikasi berdasarkan perbedaan usia, kecerdasan dan lain sebagainya. Namun demikian ayat-ayat tersebut mengingatkan tentang pentingnya memahami psikologi kelompok sasaran dakwah yakni ada kelompok awam, khawas, khawas dan khasil khawas melalui pendidikan.
Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup atau materi yang disampaikan dalam dakwah dan pendidikan, tampak memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa ruang lingkup atau materi dakwah dan pendidikan pada intinya harus sejalan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Bedanya bahwa ruanglingkup atau materi dalam berdakwah lebih umum atau tidak terperinci dan lebih mengambarkan motivasi secara global. Sedagkan dalam pendidikan ruanglinkup atau materi berdakwah lebih terperinci sebagaimana dituangkan dalam dan silabi yang harus dicapai pada setiap semester, triwulan dan setiap kali tatap muka. Perbedaan dakwah dan pendidikan dapat diumpamakan dengan obat/ vitamin dan makan nasi. Berdakwah lebih diarahkan pada motivasi agar setiap orang terdorong untuk melaksanakan ajaran, seperti orang yang makan obat agar timbul nafsu makan, dan setelah nafsu makan, maka orang tersebut jangan diberi obat atau vitamin terus, tetapi harus diberi nasi, makanan, minuman dan lain sebaginya.
Ketiga, dari segi tujuannya, antara dakwah dan pendidikan memiliki persamaan dan berbedaan. Dakwah dan pendidikan sama-sama bertujuan mengubah sikap mental manusia dengan cara diberikan motivasi dan ajaran-ajaran, agar orang-orang terbut mau melaksanakan ajaran islam dalam arti seluas-luasnya, sehingga ia dapat melaksanakan ajaran islam dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga ia dapat melaksanakan fungsi kekhalifannya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Naumun demikian dalam pendidikan terdapat perumusan pendidikan yang bertingkat-tingkat. Yaitu rumusan tujuan yang bersifat universal, nasional, instituasional, kurikuler, mata pelajaran, pokok bahasan, an sub pokok bahasa. Khiarkis tujuan serupa ini tidak dijmpai dalam rumusan tujuan dakwah. Denga kata lain, didalam pendidikan disamping terdapat tujuan universalyang berjangka panjang dan sulit diukur waktu yang singkat, juga terdapat tujuan yang khusus yang berjangka pendek dan dapat dengan mudah diukur pada setiap setiap akhir pelajaran. Dalam berdakwah, tujuan yang rencanakan tampak bersifat umum, bahkan dalam berdakwah yang tradisonal, tidak terdapat rumusan tujuan sama sekali.
Keempat, dilihat dari degi caranya, terdapat persamaan dan perbedaan antara dakwah dan pendidikan, persamaannya dalam berdakwah sebagaimana dikemukakan diatas paling kurang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu denga hikamah, mau’idxah hasanah dan mujadalah. Didalam pendidikanpun ketiga cara tersebut dapat pula dilakukan. Perbedaannya dalam pendidikan cara atau metode yang digunakan disamping tiga cara tersebut masih banyak lagi bervariasinya, seperti ceramah, diskusi, keteladanan, kisah, sosiodrama,simulasi, problem solving, karya wisata dan lain-lain. Dengan kata lain dalam pendidikan, jauh lebih bervariasi dan berkembang dibandingkan dengan metode dakwah.
Kelima, dilihat dari segi hukumna, terdapat pula persamaan antara dakwah dan pendidikan, yaitu ada yang termasuk dedalam kategori yang hukumnya wajib bagi semua individu(fardlu ain) dan ada yang hukumnya fardlu kifayah. Dakwah dan pendidikan hukumnya wajib dilakukan oleh setiap individu, manakala dalam dakwah dan pendidikan tersebut bersifat umum, yaitu dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja sesuai keadaan dan kemampuan yang bersangjutan. Dakwah dan pendiidkan hukumnya fardlu kifayah, manakala yang dimaksud dengan dakwah dan pendidikan tersebut dalam arti yang khusus, yaitu dakwah dan pendidikan yang terprogam secara sistematis dan berkesinambungan, ruang lingkup, sasaran dan tujuan yang khusus, serta perlu keahlian khusus pula bagi orang yang melakukannya.
Sehubungan hal tersebut, maka perlu adanya kerjasama yang baik dan seerat mungkin antara kegiatan dakwah dengan pendidikan. Harus harus mendorong masyarakat agar mau meingkatkan kuallitas dirinya dengan cara meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan dalam arti yang luas. Demikian pula pendidikan pun harus mendorong masyarakat agar mau melakukan dakwah dan mengamalkan ajaran amar ma’ruf nahi mungkar. Pendidikan islam menepati posisi sentral dalam upaya mensosialisasikan ajaran-ajaran islam, baik secara individu maupun sosial diberbagai aspek kehidupan mansia. Pendidikan islam berkepentingan menginternalisasikan nilai-nilai iman, takwa, dan moral kepada anak didik agar memiliki komitmen religius yang tinggi dalam mengembangkan pengethuan dan keterampilannya untuk beramal dan berkarya yang paa gilrannya melahirkan budaya yang agamis. Dengan demikian hubungan dakwah dan pendidikan sangatlah erat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengarungi lautan kehidupan di dunia ada dua hal yang tidak pernahkita sunyi darinya, dimana kita mempunyai pilihan atas dua hal tersebut yaitu kebaikan dan disisi lain yang disebut kemunkaran.
Mengingat bahwa kebaikan merupakan idaman bagi semua manusia karena dengan kebaikan itu berujung kepada kebahagian, sedangkan kemujnkaran merupakan pangkal dari penderitaan dan kesengsaraan, maka Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur telah memberikan akal dan pikiran bagi manusia untuk memilih satu diantara keduanya dengan menggunakan tolok ukur syari'at. Dimana umat muslim, untuk itu mendapatkan perintah untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Untuk bagaimana dapat terciptanya kebaikan dan dijauhinya kemunkaran tersebut, lahirlah perintah untuk melakukan anjuran untuk berbuat baik dan meninggalkan kemunkaran yang dikenal sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Dengan adanya peran amar ma’ruf nahi munkar yang dialamatkan kepada setiap individu maupun kepada masyarakat secara luas, maka keburukan, kerusakan dan kemudharatan tersebut dapat ditiadakan atau diminimalisir serta sebaliknya kebaikan dan kemaslahatan akan dapat diciptakan. Sehingga peran amar ma’ruf nahi munkar ini sangatlah besar dirasakan manfaatnya bagi seluruh hamba Allah Yang Maha Pemurah.
[1] Syaikhul Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, (1418h/ 1997), Jilid 28 h. 168
[2] Http://Al-Atsariyyah.Com/?P=142 , Tanggal 28 Maret 2010
[3] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
[4] Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1
[5] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H, Hal.613/IV.
[6]Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, Halaman 363.
[7]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, Hal.200/10.
[8]Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Muassatur Risalah, Mesir, 1420 H, Hal.321/17
[9]Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim,Dar At-Thoyyibah Linasyri wa Tawji’, Madinah 1420 H,Hal.613/IV.
[10] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar.
[12] Abi Abdullah Muhammad Ibn Abu Al-Qurthubi, “Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an”, Beirut Lebanon: Muassasah Ar- Risalah, 2006 M/ 1427 H, Juz 5, Hal. 344
[13] Ibid
[14] Berdasarkan Penasiran Ibnu Abbas: Yakni Mereka Adalah Para Shahabat Yang Ikut Berhijrah Bersama Rasulullah Dari Mekkah. Lihat Tafsir Ath Thabari: Juz 7, Hal. 100
[15] Al-Qurthubi, Ibid, Hal. 294
[16] Ath Thabari, “Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an”, Kairo: Maktabah Hajr, 2001m/1422h, Bab. 103 Juz 7, Hal. 101
[17] Ibid, Hal. 102
[18] Ibid, Juz 4,Hal 170
[19] Ibid, Juz 4,Hal 172
[20] Hamka, tafsir al-azhar juz 4 , Jakarta : Pustaka tanjimas, 1983. h: 29
[21] Abudin nata , tafsir ayat –ayat pendidikan h : 178
[22] Abudin nata, tafsir ayat –ayat pendidikan :178