Pembinaan Akhlak Generasi Muda
Tafsir Surat An-Nisa ayat 9,95, At-Tahrim ayat 6, At-Tagabun 14-15, dan Al-A'raf 199
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama salah satu diantara sekian banyak sektor harus mendapatkan perhatian besar bagi bangsa dibandingkan dengan sektor kehidupan yang lain. Sebab pencapaian pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab sangat ditentukan dari aspek kehidupan agama, terutama dalam hal pembinaan bagi generasi muda.
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan secara dinamis dan berkesinambungan. Di dalam konteksnya dengan suatu kehidupan beragama, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai agama agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas norma-norma yang ada dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda. Oleh karena itu, makalah ini mencoba menjelaskan pembinaan akhlak pada generasi muda.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Generasi Muda dan Pengertian Akhlak
Melihat kata "Generasi muda" yang terdiri dari dua kata yang majemuk, kata yang kedua adalah sifat atau keadaan kelompok individu itu masih berusia muda dalam kelompok usia muda yang diwarisi cita-cita dan dibebani hak dan kewajiban, sejak dini telah diwarnai oleh kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan politik. Maka dalam keadaan seperti ini generasi muda dari suatu bangsa merupakan "Young Citizen".
Pengertian generasi muda erat hubungannya dengan arti generasi muda sebagai generasi penerus. Yang dimaksud "Generasi Muda" secara pasti tidak terdapat satu definisi yang dianggap paling tepat akan tetapi banyak pandangan yang mengartikannya tergantung dari sudut mana masyarakat melihatnya. Namun dalam rangka untuk pelaksanaan suatu program pembinaan bahwa "Generasi Muda" ialah bagian suatu generasi yang berusia 0 – 30 tahun.
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologis, Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Sedang menurut al-Ghazali akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang memungkinkan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan seketika.
B. Konsep Pembinaan Akhlak Generasi Muda
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.[3]
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan adalah pembinaan keagamaan (akhlak) yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.[4]
Dalam masa ini jatidiri dan sikap arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.[5]
Dalam perkembangan psikologi remaja dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai akhlak. Hal ini diungkapkan oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi diri seseorang, tetapi terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.[6]
Pembinaan yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di dalamnya.[7] Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja sangat dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri melalui kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan yang tinggi dalam kehidupannya.[8]
Penanaman semangat kepahlawanan memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab tentu akan membangun semangat dan menumbuhkan jiwa kepahlawanan, baik terhadap negara, agama maupun bangsa.[9]Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur dalam melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah dan konstruktif. Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda adalah yang selalu mengambil peran dalam setiap langkah yang bermanfaat bagi bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan,[10] baik tuntutan itu datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.
C. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(Q. S An-Nisa: 9)
Tafsirnya
Allah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[11]
Maksudnya, anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.[12]
Surat An-Nisa Ayat 95
w ÈqtGó¡o tbrßÏè»s)ø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# çöxî Í<'ré& ÍuØ9$# tbrßÎg»yfçRùQ$#ur Îû È@Î6y «!$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 4 @Òsù ª!$# tûïÏÎg»yfçRùQ$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# Zpy_uy 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 @Òsùur ª!$# tûïÏÎg»yfßJø9$# n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# #·ô_r& $VJÏàtã ÇÒÎÈ
95. tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[13] satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[14] dengan pahala yang besar.(Q. S An-Nisa: 95)
Tafsirnya
Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin 'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif. Sudah jelas, bahwa orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
Apabila orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak berilmu.
D. Surat At-Tahrim Ayat 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Q. S. At-Tahrim: 6)
Asbabun Nuzulnya
Ibnu katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah[15] tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya madu.Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu.[16]
Tafsinya
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132). dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
E. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3ts? Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö$$sù u|Çt7ø9$# ö@yd 3ts? `ÏB 9qäÜèù ÇÌÈ
14. Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu[17]Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Q. S At-Tagabun: 14-15)
Asbabun Nuzulnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ......
turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka bermaksud menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk berhijrah.[18] Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang , bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.[19]
Ayat di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya. Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung ayat 14).
Tafsirnya
F. Surat Al-A’raf Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Q. S Al-A’raf: 199)
Tafsirnya
Menurut Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat islam tentang nilai-nilai akhlak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu pembinaan adalah untuk konstruksi pembinaan itu sendiri yang utuh dan hakiki, sehingga dalam pembinaan harus mengambil suatu bentuk bagaimana seharusnya konstruksi itu dibangun dari dalam diri, sehingga mampu menghasilkan tindakan-tindakan islami yang praktis dalam melakukan kegiatan, baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Penciptaan moralitas Islam ini adalah merupakan suatu hal yang amat penting untuk memantapkan kehidupan keberagaman mereka, mereka akan menjadi mantap apabila sudah mengetahui secara benar nilai-nilai Islami, termasuk di dalamnya nilai-nilai kesufian yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang sudah di pahami sebelumnya.[23] Demikian pula dengan manfaat-manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Bahkan secara tidak langsung mereka akan memahami fungsi-fungsi keagamaan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan moralitas Islam pada setiap generasi muda Islam, harus ditempatkan pada nomor urut teratas dan menjadi skala prioritas suatu pembinaan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa di tangan pemudalah tanggung jawab perwujudan realitas Islam. yang dimaksud realitas Islam adalah kegiatan-kegiatan yang mesti dan seharusnya dilakukan generasi secara konstruktif dan berkesinambungan dalam membangun jati diri dan perilaku yang baik.
DAFTAR FOONOTE
[1] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , (Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982), h. 12.
[2] Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press,1995), h. 504.
[3] Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 199.
[4] Zakiah Daradjat, op.,cit,. h. 44.
[5] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003), h. 218.
[6] Netty Hartati, op.,cit., h. 63.
[7] Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
[8] Netty Hartaty, M.Si. (et.al.) Islam dan Psikologi, (Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004), h. 441.
[9] Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160.
[10] Ibid., h
[11] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[12] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[13] Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[14] Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. sebagian ahli tafsir mengartikan qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur..
[15] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004) juz.8 hal.158
[16] Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
[17] Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.
[18] K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
[19] Asbabun Nuzul, Hal. 580
[20] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[21] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[22] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[23]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
[20] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[21] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[22] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[23]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan. Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003.
Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004.
Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
Departemen Agama, Tafsir Indonesia
Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Jakarta Press, 1995.
Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7.
Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005.
K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
Netty Hartaty, M.Si. (et.al.) Islam dan Psikologi.Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004
Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar. Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985.
Shihab, Quraish. Tafsir Al Misbah. Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental .Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama salah satu diantara sekian banyak sektor harus mendapatkan perhatian besar bagi bangsa dibandingkan dengan sektor kehidupan yang lain. Sebab pencapaian pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab sangat ditentukan dari aspek kehidupan agama, terutama dalam hal pembinaan bagi generasi muda.
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan secara dinamis dan berkesinambungan. Di dalam konteksnya dengan suatu kehidupan beragama, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai agama agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas norma-norma yang ada dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda. Oleh karena itu, makalah ini mencoba menjelaskan pembinaan akhlak pada generasi muda.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian Generasi Muda dan Pengertian Akhlak
- Konsep Pembinaan Akhlak Pada Generasi Muda
- Tafsir Surat An-Nisa Ayat 9 & 95
- Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 6
- Tafsir Surat At-Tagabun Ayat 14-15
- Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 199
PEMBAHASAN
A. Pengertian Generasi Muda dan Pengertian Akhlak
Melihat kata "Generasi muda" yang terdiri dari dua kata yang majemuk, kata yang kedua adalah sifat atau keadaan kelompok individu itu masih berusia muda dalam kelompok usia muda yang diwarisi cita-cita dan dibebani hak dan kewajiban, sejak dini telah diwarnai oleh kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan politik. Maka dalam keadaan seperti ini generasi muda dari suatu bangsa merupakan "Young Citizen".
Pengertian generasi muda erat hubungannya dengan arti generasi muda sebagai generasi penerus. Yang dimaksud "Generasi Muda" secara pasti tidak terdapat satu definisi yang dianggap paling tepat akan tetapi banyak pandangan yang mengartikannya tergantung dari sudut mana masyarakat melihatnya. Namun dalam rangka untuk pelaksanaan suatu program pembinaan bahwa "Generasi Muda" ialah bagian suatu generasi yang berusia 0 – 30 tahun.
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Secara terminologis, Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Sedang menurut al-Ghazali akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa yang memungkinkan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan seketika.
B. Konsep Pembinaan Akhlak Generasi Muda
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.[3]
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan adalah pembinaan keagamaan (akhlak) yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.[4]
Dalam masa ini jatidiri dan sikap arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.[5]
Dalam perkembangan psikologi remaja dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai akhlak. Hal ini diungkapkan oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi diri seseorang, tetapi terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.[6]
Pembinaan yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di dalamnya.[7] Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja sangat dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri melalui kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan yang tinggi dalam kehidupannya.[8]
Penanaman semangat kepahlawanan memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab tentu akan membangun semangat dan menumbuhkan jiwa kepahlawanan, baik terhadap negara, agama maupun bangsa.[9]Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur dalam melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah dan konstruktif. Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda adalah yang selalu mengambil peran dalam setiap langkah yang bermanfaat bagi bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan,[10] baik tuntutan itu datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.
C. Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(Q. S An-Nisa: 9)
Tafsirnya
Allah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.[11]
Maksudnya, anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.[12]
Surat An-Nisa Ayat 95
w ÈqtGó¡o tbrßÏè»s)ø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# çöxî Í<'ré& ÍuØ9$# tbrßÎg»yfçRùQ$#ur Îû È@Î6y «!$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 4 @Òsù ª!$# tûïÏÎg»yfçRùQ$# óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# Zpy_uy 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 @Òsùur ª!$# tûïÏÎg»yfßJø9$# n?tã tûïÏÏè»s)ø9$# #·ô_r& $VJÏàtã ÇÒÎÈ
95. tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk[13] satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[14] dengan pahala yang besar.(Q. S An-Nisa: 95)
Tafsirnya
Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin 'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif. Sudah jelas, bahwa orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
Apabila orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak berilmu.
D. Surat At-Tahrim Ayat 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Q. S. At-Tahrim: 6)
Asbabun Nuzulnya
Ibnu katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah[15] tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya madu.Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu.[16]
Tafsinya
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132). dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
E. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3ts? Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö$$sù u|Çt7ø9$# ö@yd 3ts? `ÏB 9qäÜèù ÇÌÈ
14. Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu[17]Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
15. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Q. S At-Tagabun: 14-15)
Asbabun Nuzulnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ......
turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka bermaksud menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk berhijrah.[18] Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang , bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.[19]
Ayat di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya. Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung ayat 14).
Tafsirnya
- Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min (من) , yang berarti “daripada”, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah semua istri atau semua anak menjadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang cita-cita seorang mu’min sebagai suami atau sebagai ayah.[20]
- Kata عَدُوًّا berarti يعادونكم و يشغلونكم عن الخير yaitu memalingkan dan menyibukkan kita sehingga jauh dari kebaikan.[21] Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.[22]
F. Surat Al-A’raf Ayat 199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
199. jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Q. S Al-A’raf: 199)
Tafsirnya
Menurut Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat islam tentang nilai-nilai akhlak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu pembinaan adalah untuk konstruksi pembinaan itu sendiri yang utuh dan hakiki, sehingga dalam pembinaan harus mengambil suatu bentuk bagaimana seharusnya konstruksi itu dibangun dari dalam diri, sehingga mampu menghasilkan tindakan-tindakan islami yang praktis dalam melakukan kegiatan, baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Penciptaan moralitas Islam ini adalah merupakan suatu hal yang amat penting untuk memantapkan kehidupan keberagaman mereka, mereka akan menjadi mantap apabila sudah mengetahui secara benar nilai-nilai Islami, termasuk di dalamnya nilai-nilai kesufian yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang sudah di pahami sebelumnya.[23] Demikian pula dengan manfaat-manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Bahkan secara tidak langsung mereka akan memahami fungsi-fungsi keagamaan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan moralitas Islam pada setiap generasi muda Islam, harus ditempatkan pada nomor urut teratas dan menjadi skala prioritas suatu pembinaan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa di tangan pemudalah tanggung jawab perwujudan realitas Islam. yang dimaksud realitas Islam adalah kegiatan-kegiatan yang mesti dan seharusnya dilakukan generasi secara konstruktif dan berkesinambungan dalam membangun jati diri dan perilaku yang baik.
DAFTAR FOONOTE
[1] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , (Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982), h. 12.
[2] Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press,1995), h. 504.
[3] Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 199.
[4] Zakiah Daradjat, op.,cit,. h. 44.
[5] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003), h. 218.
[6] Netty Hartati, op.,cit., h. 63.
[7] Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
[8] Netty Hartaty, M.Si. (et.al.) Islam dan Psikologi, (Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004), h. 441.
[9] Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160.
[10] Ibid., h
[11] Departemen Agama, Tafsir Indonesia
[12] Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005).
[13] Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur.
[14] Maksudnya: yang tidak berperang tanpa alasan. sebagian ahli tafsir mengartikan qaa'idiin di sini sama dengan arti qaa'idiin Maksudnya: yang tidak berperang karena uzur..
[15] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004) juz.8 hal.158
[16] Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
[17] Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.
[18] K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
[19] Asbabun Nuzul, Hal. 580
[20] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[21] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[22] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[23]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
[20] Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar, , Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985, Hal. 246
[21] Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7, Hal. 237
[22] Tafsir Al Misbah, Quraish Shihab, Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
[23]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan. Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003.
Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy, Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004.
Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
Departemen Agama, Tafsir Indonesia
Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Jakarta Press, 1995.
Fathul Qadir, M. Ibn Ali Asy-Syauqani , Juz 7.
Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005.
K.H.Q. Shaleh Dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Cet. 10, Edisi Ii, Tahun 2004, Hal. 579
Netty Hartaty, M.Si. (et.al.) Islam dan Psikologi.Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004
Prof Hamka, Tafsir Al-Azhar. Cet Pertama, Juz 28, 29, 30, Tahun 1985.
Shihab, Quraish. Tafsir Al Misbah. Cet I, Jilid, 14 , Tahun 2003, Lentera Hati, Hal. 279
Syaikh Utsaimin, Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al Mustaqni’ . juz.13 hal.217.
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental .Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982.