Kerukunan Hidup Antar Agama
Tafsir Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, Ali Imran ayat 118, Al-Ma'idah ayat 5, Al-Kafiruun ayat 1-6
BAB I
PENDAHULUAN
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?.
Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Kerukunan dari sudut pandang etimologis berasal dari bahasa arab yakni “RUKAUM” yang berarti asas atau dasar, yang dalam bentuk tunggal berarti tiang dan dalam bentuk jamak “ARKHAN” artinya tiang-tiang. Kerukunan adalah sikap saling mengakui, menghargai, toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat multikultural sehingga umat beragama dapat hidup rukun, damai & berdampingan.
Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Definisi kerukunan hidup antar umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1]
B. Surat dan Terjemahan
1. Al-Mumtahanah 60:8-9
wâ/ä38yg÷Ytª!$#Ç`tãtûïÏ%©!$#öNs9öNä.qè=ÏG»s)ãÎûÈûïÏd9$#óOs9ur/ä.qã_Ìøä`ÏiBöNä.Ì»tÏbr&óOèdry9s?(#þqäÜÅ¡ø)è?uröNÍkös9Î)4¨bÎ)©!$#=ÏtätûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÑÈ$yJ¯RÎ)ãNä39pk÷]tª!$#Ç`tãtûïÏ%©!$#öNä.qè=tG»s%ÎûÈûïÏd9$#Oà2qã_t÷zr&ur`ÏiBöNä.Ì»tÏ(#rãyg»sßur#n?tãöNä3Å_#t÷zÎ)br&öNèdöq©9uqs?4`tBuröNçl°;uqtFtÍ´¯»s9'ré'sùãNèdtbqßJÎ=»©à9$#ÇÒÈ
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.[2]
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.[3]
Sayyid Quthub berkomentar ketika menafsirkan ayat diatas bahwa islam adalah agama yang damai, serta akidah cinta. Ia suatu system yang bertujuan menangi seluruh alam dengan naungannya yang berupa kedamaian. Tidak ada yang meghalangi arah tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh penganut agama ini. Adapun jika mereka itu bersikap damai, maka islam sama sekali tidak berminat untuk melakukan permusuhan dan tidak juga berusaha melakukannya. Walaupun dalam keadaan bermusuhan, islam tetap memelihara dalam jiwa factor-faktor keharmonisan hubungan yakni kejujuran tingkah laku perlakuan yang adil menanti datangnya waktu dimana lawan-lawannya dapat menerima kebajikan yang ditawarkannya sehingga mereka bergabung dibawah panji-panjinya. Islam sama sekali tidak berputus asa mananti hari dimana hati manusia akan menjadi jernih dan mengarah kea rah yang lurus itu.
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan hantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu. Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT hanyalah melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah melarang dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka. Pada akhir ayat ini Allah SWT mengancam kaum muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.[4]
2. Ali Imran 03:118
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#räÏGs?ZptR$sÜÎ/`ÏiBöNä3ÏRrßwöNä3tRqä9ù'tZw$t6yz(#rur$tB÷LêÏYtãôs%ÏNyt/âä!$Òøót7ø9$#ô`ÏBöNÎgÏdºuqøùr&$tBurÏÿ÷è?öNèdârßß¹çt9ø.r&4ôs%$¨Y¨t/ãNä3s9ÏM»tFy$#(bÎ)÷LäêZä.tbqè=É)÷ès?ÇÊÊÑÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.[5]
Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)
Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf, 1/406, lihat Tafsir al Qasimi, 2/441 cetakan Darul Hadits Kairo).
Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.[6]
3. Al-maidah 05:05
tPöquø9$#¨@Ïmé&ãNä3s9àM»t6Íh©Ü9$#(ãP$yèsÛurtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#@@Ïmö/ä3©9öNä3ãB$yèsÛur@@ÏmöNçl°;(àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBÏM»oYÏB÷sßJø9$#àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#`ÏBöNä3Î=ö6s%!#sÎ)£`èdqßJçF÷s?#uä£`èduqã_é&tûüÏYÅÁøtèCuöxîtûüÅsÏÿ»|¡ãBwurüÉÏGãB5b#y÷{r&3`tBuröàÿõ3tÇ`»uKM}$$Î/ôs)sùxÝÎ6ym¼ã&é#yJtãuqèdurÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ÎÅ£»sø:$#ÇÎÈ
Artinya:
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.[7]
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik."Kemudian Allah menuturkan sembelihan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasranidengan firman-Nya, "Makanan orang-orang yang telah diberi kitab adalah halalbagimu." Ibnu Abbas dan ulama lainnya berkata, "Yakni ternak sembelihanmereka." Masalah ini disepakati oleh para ulama, yaitu bahwa sem¬belihan merekaadalah halal bagi kaum muslimin sebab mereka pun meyakini keharamansembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah dan dalam melaku-kanpenyembelihan mereka tidak menyebut kecuali nama Allah. Jika di dalampenyembelihan itu mereka meyakini kesucian dan ketinggian Allah dari perkarayang disucikan dari pada-Nya, maka Dia Mahatinggi dan Mahasuci. Dalam Shahihditegaskan dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, "Pada perstiwa Khaibar sayadiberi sekantong lemak kemudian saya simpan dengan rapi. Saya berkata,'Sekarang, saya takkan memberikan sebagian dari lemak ini kepada siapa pun.'Kemudian saya berpaling dan ternyata Nabi saw. tengah tersenyum." Hadits inidijadikan dalil oleh para fuqaha bahwa dibolehkan mengambil makanan yangdibutuhkan dan semacamnya dari ghanimah yangbelum dibagikan. Ini sudah jelasdemikian.Hadits ini pun digunakan oleh tliqaha mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sebagaidalil untuk membantah mazhab Maliki yang menolak untuk memakan sembelihanyang diyakini keharamannya oleh kaum Yahudi, seperti lemak dan semacamnyayang diharamkan Allah kepada mereka. Keterangan yang lebih baik untuk dijadikandalil daripada hadits di atas ialah keterangan yang ditegaskan dalam Shahih
"Sesungguhnya penduduk Khaibar menghadiahkan domba panggang kepadaRasulullah saw. Merekatelah meracuni paha depannya dan paha itulah yang menarik selera beliau.Kemudian beliau mengambil dan menggigitnya. Maka paha depan itumemberitahukan bahwa dirinya beracun. Lalu beliau memuntahkannya. Daging itubersisa di gigi dan sela-selanya. Basyar bin al-Barra' bin Marur ikut makan denganbeliau maka dia pun mati. Kemudian orang Yahudi yang meracuninya dibunuh.Orang itu bernama Zainab." Aspek yang dijadikan dalil dari hadits itu ialah bahwaNabi dengan sahabatnya memakan daging domba tanpa me-nanyakan apakahpenduduk Khaibar telah membuang lemak yang mereka yakini keharamannya atautidak. Tidak dibolehkan memakan sembelihan kecuali sembelihan orang Yahudi danNasrani, seperti sembelihan orang musyrik dan sebangsanya sebab mereka tidakmenyebut nama Allah tatkala menyembelihnya, bahkan mereka memakan bangkai.Hal itu berbeda dengan Ahli Kitab. Orang selain Ahli Kitab adalah orang-orang yangdiperlakukan sebagai Ahli Kitab lantaran membayar pajak. Walaupun demikian,sembelihan mereka tidak halal dimakan dan wanitanya tidak boleh dikawini.Sesungguhnya pengertian firman Allah, "Dan makanan orang-orang yang diberikitab adalah halal bagimu" menunjukkan kepada pengertian-nya yang berlawanan,yaitu bahwa makanan para pemeluk agama selain mereka adalah tidak halal.Firman Allah Ta'ala, "Dan makanan kamu pun halal bagj mereka." Yakni, dihalalkanbagimu untuk memberi sembelihanmu kepada mereka, sebagaimana kamu bolehmemakan sembelihan mereka. Hal ini merupakan kesepadanan, pembalasan, danperimbangan. Adapun hadits yang mengatakan, "Jangan-lah kamu bertemanmelainkan dengan orang mukmin dan janganlah kamu memberikan makananmukecuali kepada orang yang bertakwa", ditafsirkan sebagai perbuatan sunnah dananjuran. ‘’Wallahu a'lam.’’ Firman Allah Ta'ala, "dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalanganwanita mukmin", yakni dihalalkan bagimu me-nikahi wanita-wanita merdeka danyang menjaga kehormatannya dari kalangan wanita yang beriman.( wanita wanitayang mengikuti agama nabi Isa as dan kitabnya yaitu injil yang sesuai dengansyariat agama nashara (nashrani) yang diturunkan Allah SWT sebelum islam, yangtetap menyembah kepada Allah SWT, bukan agama nashrani (kristen)yangmenuhankan nabi Isa as. dan membuat buat kitab kitab suci menurut versi merekasendiri sendiri] {mungkin bisa diartikan untuk saat ini sudah tidak ada wanita-wanita ahli kitab dari kalangan nashara seperti yang dimaksud ayat diatas} wallahua'lam bisshawab" . yaitu Penuturan penggalan ini merupakan loncatan atas ayat sesudahnya yangberbunyi, "dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu", yakni wanita-wanita yang menjagadiri dan kesuciannya dari perbuatan zina, sebagaimana Allah berfirman, "Wanita-wanita yang bukan pelacur da"n bukan yang menjadi gundik." Dahulu, orang-orang tidak mau kawin dengan wanita-wanita Ahli Kitab setelah diturunkan ayat yangterdapat dalam surat al-Baqarah yang ber¬bunyi, "Dan janganlah kamu mengawiniwanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman", hingga diturunkan ayat, "danwanita-wanita yang menjaga kehormat¬annya dari kalangan orang-orang yangtelah diberi kitab sebelum kamu". Kemu-dian mereka menjadikan ayat ini sebagaipentakhshis terhadap surat d-Baqarah, "dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik...."Firman Allah Ta'ala, "Jika kamu memberi mereka maharnya." Yakni, karena merekamemelihara diri dari perbuatan zina dan menjaga kehormatannya maka berikanlahkepada mereka maharnya dengan sukarela. Firman Allah Ta'ala, "Dan denganmaksud menjaga kehormatan, bukan pezina, dan menjadikannya gundik-gundik."Sebagaimana Allah mensyaratkan keterpeliharaan pada wanita, yaitu kesucian dariperbuatan zina, maka Allah pun mensyaratkan keterpeliharaan dan kesucian dariperzinaan kepada kaum laki-laki. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "bukansebagai pezina dan menjadikan gundik-gundik", yakni orang-orang yang memilikikekasih dan hanya bergaul dengan mereka. Oleh karena itu, Imam Ahmadberpandangan bahwa tidak sah nikahnya wanita pelacur sebelum dia bertobat,demikian pula tidak sah akad nikahnya laki-laki pezina dengan wanita yang salehhingga dia bertobat. Pendapat beliau itu didasarkan atas ayat di atas dan haditsyang berbunyi,"Pezina yang didera tidak boleh menikah kecuali dengan pezina lagi."Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hasan, dia berkata, "Umar bin Khaththab berkata,'Sungguh saya pernah berniat untuk tidak akan membiarkan sesorang yang berzinadalam Islam untuk kawin dengan wanita saleh.' Kemudian Ubay bin Ka'ab berkatakepadanya, 'Hai Amirul Mukminin, kemusyrikan itu lebh berat daripada berzina dandapat diterima dalam Islam jika dia bertobat.'" Pembicaraan lebih jauh mengenaimasalah ini akan dikemukakan dalam pe-nafsiran ayat,"Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini melainkan perem-puan yang berzina,atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak bolehmengawini kecuali laki-laki pezina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikianitu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (an-Nur: 3) Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman, maka sesungguhnyahapuslah amalnya, sedang di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi."Al-Baqarah:221Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu`min lebih baik dari wanita musyrik, walaupundia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik(dengan wanita-wanita mu`min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budakyang mu`min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepadamanusia supaya mereka mengambil pelajaran.1. Makanan yang dihalalkan dalam Kitab Taurat dan Injil, halal pula bagi Muslimdemikian pula sebaliknya.2. Wanita yang menjaga kehormatan adalah wanita-wanita yang merdeka (bukabudak)3. Wanita yang diberi Alkitab, artinya adalah ahli kitab, yaitu orang Yahudi (yangpercaya Taurat) dan Nasrani (yang percaya Injil) boleh kita kawini.[8]
4. Al-Kafirun 109:1-6
ö@è%$pkr'¯»tcrãÏÿ»x6ø9$#ÇÊÈIwßç6ôãr&$tBtbrßç7÷ès?ÇËÈIwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç7ôãr&ÇÌÈIwurO$tRr&ÓÎ/%tæ$¨B÷Lnt6tãÇÍÈIwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç6ôãr&ÇÎÈö/ä3s9ö/ä3ãYÏuÍ<urÈûïÏÇÏÈ
Artinya:
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.[9]
“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain.[10] Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.”Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animismedengan Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bissmillah.Dan lain-lain sebagainya.[11]
C. Nilai-nilai Yang Perlu Dikembangkan untuk Menjamin Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
1. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
2. Saling hormat menghormati, menghargai dan bekerja sama antara pemeluk agama, antara berbagai golongan agama dan antara umat beragama dengan pemerintah yang sama - sama bertanggung jawab membangun bangsa dan negara;
3. Saling tenggang rasa dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain;
4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan lain-lain.
5. Saling menolong dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
D. Fungsi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
1. Menjaga ketentraman masyarakat.
2. Saling menghormati antar umat beragama;
3. Mencegah terjadinya pertentangan antara agama yang satu dengan yang lainnya;
4. Mempersatukan perbedaan antarumat beragama.
E. Sikap-sikap Antar Umat Beragama
1. Sikap Eksklusivisme : sikap yang hanya mengakui agamanya yang paling benar dan baik.
2. Sikap Inklusivisme : sikap yang dapat memahami dan menghargai agama lain dengan eksistensinya, tetapi tetap memandang agamanya sebagai satu - satunya jalan menuju keselamatan.
Misalnya agama Kristen dapat mengakui keberadaan agama lain tetapi keselamatan hanya melalui YESUS KRISTUS.
3. Pluralisme : sikap yang menerima, menghargai, dan memandang agama lain sebagai agama yang baik serta memiliki jalan keselamatan.
Dalam perspektif pandangan seperti ini, maka tiap umat beragama terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama dalam rangka kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengharapan.
Pluralisme bangsa Indonesia merupakan keunikan serta kekayaan yang harus disyukuri. Hidup dalam masyarakat bangsa yang pluralis dangan sendirinya menuntut sikap toleransi serta solidaritas yang tinggi dan hal itu menghasilkan suatu dunia baru dimana masyarakat menjadi sangat heterogen dalam suatu wilayah tempat tinggal, maka solidaritas dan toleransi telah menjadi syarat utama dalam membangun kehidupan bersama.
4. Fundamentalisme agama adalah suatu sikap hidup beragama yang militan, yang juga tidak menghendaki idiologi - idiologi lain hidup disampingnya karena nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya.
F. Kerukunan Ditinjau Dari Sudut Pandang PANCASILA dan UUD 1945
Titik pijak dari pengembangan kerukunan adalah pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang dituangkan dalam sila ke 5 tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ” dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 mengatakan tentang:
1. Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa,
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan antar agama membutuhkan sikap toleransi, namun bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
2. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
3. Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing.
4. Tentang orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar ummat beragama yang berpendapat bahwa semua agama sama dan mereka semua akan memperoleh keselamatan, hal ini tidaklah dapat dibenarkan karena tidak ada persamaan dalam hal akidah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shgidiq, Muhammad Hasbi.2000.Tafsir Al-qur’an Nul Majid.Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Musthafa,Ahmad.1993.Tafsir Al-maraghi.Semarang:Karya Toha Putra.
http://echalhiena.blogspot.com/2011/12/kerukunan-hidup-antarumat-beragama.html
http://muslim.or.id/al-quran/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-ayat-118-jangan-mudah-percaya-dengan-orang-kafir.html
http://tafsir.cahcepu.com/alkaafiruun/al-kaafiruun-1-6/
http://tanias-corner.blogspot.com/2011/06/tafsir-surat-al-mumtahanah-ayat-8-dan-9.html
http://www.scribd.com/doc/46125173/Tafsir-Ibnu-Katsir-Surah-Al-Maidah-Ayat-5
[1]http://echalhiena.blogspot.com/2011/12/kerukunan-hidup-antarumat-beragama.html
[2] Al-qur’an Digital, Al-Mumtahanah 8-9.
[3] Ash-Shgidiq, Muhammad Hasbi.2000.Tafsir Al-qur’an Nul Majid.Semarang:Pustaka Rizki Putra.hal 4186.
[4]http://tanias-corner.blogspot.com/2011/06/tafsir-surat-al-mumtahanah-ayat-8-dan-9.html
[5] Al-Qur’an Digital, Ali Imran 118.
[6]http://muslim.or.id/al-quran/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-ayat-118-jangan-mudah-percaya-dengan-orang-kafir.html
[7] Al-Qur’an Digital, Al-Maidah 5.
[8] http://www.scribd.com/doc/46125173/Tafsir-Ibnu-Katsir-Surah-Al-Maidah-Ayat-5
[9] Al-Qur’an Digital, Al-Kafirun 1-6.
[10] Musthafa,Ahmad.1993.Tafsir Al-maraghi.Semarang:Karya Toha Putra.hal 446-449.
[11]http://tafsir.cahcepu.com/alkaafiruun/al-kaafiruun-1-6/
PENDAHULUAN
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?.
Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Kerukunan dari sudut pandang etimologis berasal dari bahasa arab yakni “RUKAUM” yang berarti asas atau dasar, yang dalam bentuk tunggal berarti tiang dan dalam bentuk jamak “ARKHAN” artinya tiang-tiang. Kerukunan adalah sikap saling mengakui, menghargai, toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat multikultural sehingga umat beragama dapat hidup rukun, damai & berdampingan.
Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Definisi kerukunan hidup antar umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1]
B. Surat dan Terjemahan
1. Al-Mumtahanah 60:8-9
wâ/ä38yg÷Ytª!$#Ç`tãtûïÏ%©!$#öNs9öNä.qè=ÏG»s)ãÎûÈûïÏd9$#óOs9ur/ä.qã_Ìøä`ÏiBöNä.Ì»tÏbr&óOèdry9s?(#þqäÜÅ¡ø)è?uröNÍkös9Î)4¨bÎ)©!$#=ÏtätûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÑÈ$yJ¯RÎ)ãNä39pk÷]tª!$#Ç`tãtûïÏ%©!$#öNä.qè=tG»s%ÎûÈûïÏd9$#Oà2qã_t÷zr&ur`ÏiBöNä.Ì»tÏ(#rãyg»sßur#n?tãöNä3Å_#t÷zÎ)br&öNèdöq©9uqs?4`tBuröNçl°;uqtFtÍ´¯»s9'ré'sùãNèdtbqßJÎ=»©à9$#ÇÒÈ
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.[2]
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.[3]
Sayyid Quthub berkomentar ketika menafsirkan ayat diatas bahwa islam adalah agama yang damai, serta akidah cinta. Ia suatu system yang bertujuan menangi seluruh alam dengan naungannya yang berupa kedamaian. Tidak ada yang meghalangi arah tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuh-Nya dan musuh-musuh penganut agama ini. Adapun jika mereka itu bersikap damai, maka islam sama sekali tidak berminat untuk melakukan permusuhan dan tidak juga berusaha melakukannya. Walaupun dalam keadaan bermusuhan, islam tetap memelihara dalam jiwa factor-faktor keharmonisan hubungan yakni kejujuran tingkah laku perlakuan yang adil menanti datangnya waktu dimana lawan-lawannya dapat menerima kebajikan yang ditawarkannya sehingga mereka bergabung dibawah panji-panjinya. Islam sama sekali tidak berputus asa mananti hari dimana hati manusia akan menjadi jernih dan mengarah kea rah yang lurus itu.
Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan hantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu. Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT hanyalah melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah melarang dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka. Pada akhir ayat ini Allah SWT mengancam kaum muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.[4]
2. Ali Imran 03:118
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#räÏGs?ZptR$sÜÎ/`ÏiBöNä3ÏRrßwöNä3tRqä9ù'tZw$t6yz(#rur$tB÷LêÏYtãôs%ÏNyt/âä!$Òøót7ø9$#ô`ÏBöNÎgÏdºuqøùr&$tBurÏÿ÷è?öNèdârßß¹çt9ø.r&4ôs%$¨Y¨t/ãNä3s9ÏM»tFy$#(bÎ)÷LäêZä.tbqè=É)÷ès?ÇÊÊÑÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.[5]
Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)
Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf, 1/406, lihat Tafsir al Qasimi, 2/441 cetakan Darul Hadits Kairo).
Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.[6]
3. Al-maidah 05:05
tPöquø9$#¨@Ïmé&ãNä3s9àM»t6Íh©Ü9$#(ãP$yèsÛurtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#@@Ïmö/ä3©9öNä3ãB$yèsÛur@@ÏmöNçl°;(àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBÏM»oYÏB÷sßJø9$#àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#`ÏBöNä3Î=ö6s%!#sÎ)£`èdqßJçF÷s?#uä£`èduqã_é&tûüÏYÅÁøtèCuöxîtûüÅsÏÿ»|¡ãBwurüÉÏGãB5b#y÷{r&3`tBuröàÿõ3tÇ`»uKM}$$Î/ôs)sùxÝÎ6ym¼ã&é#yJtãuqèdurÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ÎÅ£»sø:$#ÇÎÈ
Artinya:
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.[7]
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik."Kemudian Allah menuturkan sembelihan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasranidengan firman-Nya, "Makanan orang-orang yang telah diberi kitab adalah halalbagimu." Ibnu Abbas dan ulama lainnya berkata, "Yakni ternak sembelihanmereka." Masalah ini disepakati oleh para ulama, yaitu bahwa sem¬belihan merekaadalah halal bagi kaum muslimin sebab mereka pun meyakini keharamansembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah dan dalam melaku-kanpenyembelihan mereka tidak menyebut kecuali nama Allah. Jika di dalampenyembelihan itu mereka meyakini kesucian dan ketinggian Allah dari perkarayang disucikan dari pada-Nya, maka Dia Mahatinggi dan Mahasuci. Dalam Shahihditegaskan dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, "Pada perstiwa Khaibar sayadiberi sekantong lemak kemudian saya simpan dengan rapi. Saya berkata,'Sekarang, saya takkan memberikan sebagian dari lemak ini kepada siapa pun.'Kemudian saya berpaling dan ternyata Nabi saw. tengah tersenyum." Hadits inidijadikan dalil oleh para fuqaha bahwa dibolehkan mengambil makanan yangdibutuhkan dan semacamnya dari ghanimah yangbelum dibagikan. Ini sudah jelasdemikian.Hadits ini pun digunakan oleh tliqaha mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sebagaidalil untuk membantah mazhab Maliki yang menolak untuk memakan sembelihanyang diyakini keharamannya oleh kaum Yahudi, seperti lemak dan semacamnyayang diharamkan Allah kepada mereka. Keterangan yang lebih baik untuk dijadikandalil daripada hadits di atas ialah keterangan yang ditegaskan dalam Shahih
"Sesungguhnya penduduk Khaibar menghadiahkan domba panggang kepadaRasulullah saw. Merekatelah meracuni paha depannya dan paha itulah yang menarik selera beliau.Kemudian beliau mengambil dan menggigitnya. Maka paha depan itumemberitahukan bahwa dirinya beracun. Lalu beliau memuntahkannya. Daging itubersisa di gigi dan sela-selanya. Basyar bin al-Barra' bin Marur ikut makan denganbeliau maka dia pun mati. Kemudian orang Yahudi yang meracuninya dibunuh.Orang itu bernama Zainab." Aspek yang dijadikan dalil dari hadits itu ialah bahwaNabi dengan sahabatnya memakan daging domba tanpa me-nanyakan apakahpenduduk Khaibar telah membuang lemak yang mereka yakini keharamannya atautidak. Tidak dibolehkan memakan sembelihan kecuali sembelihan orang Yahudi danNasrani, seperti sembelihan orang musyrik dan sebangsanya sebab mereka tidakmenyebut nama Allah tatkala menyembelihnya, bahkan mereka memakan bangkai.Hal itu berbeda dengan Ahli Kitab. Orang selain Ahli Kitab adalah orang-orang yangdiperlakukan sebagai Ahli Kitab lantaran membayar pajak. Walaupun demikian,sembelihan mereka tidak halal dimakan dan wanitanya tidak boleh dikawini.Sesungguhnya pengertian firman Allah, "Dan makanan orang-orang yang diberikitab adalah halal bagimu" menunjukkan kepada pengertian-nya yang berlawanan,yaitu bahwa makanan para pemeluk agama selain mereka adalah tidak halal.Firman Allah Ta'ala, "Dan makanan kamu pun halal bagj mereka." Yakni, dihalalkanbagimu untuk memberi sembelihanmu kepada mereka, sebagaimana kamu bolehmemakan sembelihan mereka. Hal ini merupakan kesepadanan, pembalasan, danperimbangan. Adapun hadits yang mengatakan, "Jangan-lah kamu bertemanmelainkan dengan orang mukmin dan janganlah kamu memberikan makananmukecuali kepada orang yang bertakwa", ditafsirkan sebagai perbuatan sunnah dananjuran. ‘’Wallahu a'lam.’’ Firman Allah Ta'ala, "dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalanganwanita mukmin", yakni dihalalkan bagimu me-nikahi wanita-wanita merdeka danyang menjaga kehormatannya dari kalangan wanita yang beriman.( wanita wanitayang mengikuti agama nabi Isa as dan kitabnya yaitu injil yang sesuai dengansyariat agama nashara (nashrani) yang diturunkan Allah SWT sebelum islam, yangtetap menyembah kepada Allah SWT, bukan agama nashrani (kristen)yangmenuhankan nabi Isa as. dan membuat buat kitab kitab suci menurut versi merekasendiri sendiri] {mungkin bisa diartikan untuk saat ini sudah tidak ada wanita-wanita ahli kitab dari kalangan nashara seperti yang dimaksud ayat diatas} wallahua'lam bisshawab" . yaitu Penuturan penggalan ini merupakan loncatan atas ayat sesudahnya yangberbunyi, "dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu", yakni wanita-wanita yang menjagadiri dan kesuciannya dari perbuatan zina, sebagaimana Allah berfirman, "Wanita-wanita yang bukan pelacur da"n bukan yang menjadi gundik." Dahulu, orang-orang tidak mau kawin dengan wanita-wanita Ahli Kitab setelah diturunkan ayat yangterdapat dalam surat al-Baqarah yang ber¬bunyi, "Dan janganlah kamu mengawiniwanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman", hingga diturunkan ayat, "danwanita-wanita yang menjaga kehormat¬annya dari kalangan orang-orang yangtelah diberi kitab sebelum kamu". Kemu-dian mereka menjadikan ayat ini sebagaipentakhshis terhadap surat d-Baqarah, "dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik...."Firman Allah Ta'ala, "Jika kamu memberi mereka maharnya." Yakni, karena merekamemelihara diri dari perbuatan zina dan menjaga kehormatannya maka berikanlahkepada mereka maharnya dengan sukarela. Firman Allah Ta'ala, "Dan denganmaksud menjaga kehormatan, bukan pezina, dan menjadikannya gundik-gundik."Sebagaimana Allah mensyaratkan keterpeliharaan pada wanita, yaitu kesucian dariperbuatan zina, maka Allah pun mensyaratkan keterpeliharaan dan kesucian dariperzinaan kepada kaum laki-laki. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "bukansebagai pezina dan menjadikan gundik-gundik", yakni orang-orang yang memilikikekasih dan hanya bergaul dengan mereka. Oleh karena itu, Imam Ahmadberpandangan bahwa tidak sah nikahnya wanita pelacur sebelum dia bertobat,demikian pula tidak sah akad nikahnya laki-laki pezina dengan wanita yang salehhingga dia bertobat. Pendapat beliau itu didasarkan atas ayat di atas dan haditsyang berbunyi,"Pezina yang didera tidak boleh menikah kecuali dengan pezina lagi."Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hasan, dia berkata, "Umar bin Khaththab berkata,'Sungguh saya pernah berniat untuk tidak akan membiarkan sesorang yang berzinadalam Islam untuk kawin dengan wanita saleh.' Kemudian Ubay bin Ka'ab berkatakepadanya, 'Hai Amirul Mukminin, kemusyrikan itu lebh berat daripada berzina dandapat diterima dalam Islam jika dia bertobat.'" Pembicaraan lebih jauh mengenaimasalah ini akan dikemukakan dalam pe-nafsiran ayat,"Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini melainkan perem-puan yang berzina,atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak bolehmengawini kecuali laki-laki pezina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikianitu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (an-Nur: 3) Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman, maka sesungguhnyahapuslah amalnya, sedang di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi."Al-Baqarah:221Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mu`min lebih baik dari wanita musyrik, walaupundia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik(dengan wanita-wanita mu`min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budakyang mu`min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepadamanusia supaya mereka mengambil pelajaran.1. Makanan yang dihalalkan dalam Kitab Taurat dan Injil, halal pula bagi Muslimdemikian pula sebaliknya.2. Wanita yang menjaga kehormatan adalah wanita-wanita yang merdeka (bukabudak)3. Wanita yang diberi Alkitab, artinya adalah ahli kitab, yaitu orang Yahudi (yangpercaya Taurat) dan Nasrani (yang percaya Injil) boleh kita kawini.[8]
4. Al-Kafirun 109:1-6
ö@è%$pkr'¯»tcrãÏÿ»x6ø9$#ÇÊÈIwßç6ôãr&$tBtbrßç7÷ès?ÇËÈIwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç7ôãr&ÇÌÈIwurO$tRr&ÓÎ/%tæ$¨B÷Lnt6tãÇÍÈIwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç6ôãr&ÇÎÈö/ä3s9ö/ä3ãYÏuÍ<urÈûïÏÇÏÈ
Artinya:
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.[9]
“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain.[10] Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.”Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animismedengan Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bissmillah.Dan lain-lain sebagainya.[11]
C. Nilai-nilai Yang Perlu Dikembangkan untuk Menjamin Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
1. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
2. Saling hormat menghormati, menghargai dan bekerja sama antara pemeluk agama, antara berbagai golongan agama dan antara umat beragama dengan pemerintah yang sama - sama bertanggung jawab membangun bangsa dan negara;
3. Saling tenggang rasa dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain;
4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan lain-lain.
5. Saling menolong dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
D. Fungsi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
1. Menjaga ketentraman masyarakat.
2. Saling menghormati antar umat beragama;
3. Mencegah terjadinya pertentangan antara agama yang satu dengan yang lainnya;
4. Mempersatukan perbedaan antarumat beragama.
E. Sikap-sikap Antar Umat Beragama
1. Sikap Eksklusivisme : sikap yang hanya mengakui agamanya yang paling benar dan baik.
2. Sikap Inklusivisme : sikap yang dapat memahami dan menghargai agama lain dengan eksistensinya, tetapi tetap memandang agamanya sebagai satu - satunya jalan menuju keselamatan.
Misalnya agama Kristen dapat mengakui keberadaan agama lain tetapi keselamatan hanya melalui YESUS KRISTUS.
3. Pluralisme : sikap yang menerima, menghargai, dan memandang agama lain sebagai agama yang baik serta memiliki jalan keselamatan.
Dalam perspektif pandangan seperti ini, maka tiap umat beragama terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama dalam rangka kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengharapan.
Pluralisme bangsa Indonesia merupakan keunikan serta kekayaan yang harus disyukuri. Hidup dalam masyarakat bangsa yang pluralis dangan sendirinya menuntut sikap toleransi serta solidaritas yang tinggi dan hal itu menghasilkan suatu dunia baru dimana masyarakat menjadi sangat heterogen dalam suatu wilayah tempat tinggal, maka solidaritas dan toleransi telah menjadi syarat utama dalam membangun kehidupan bersama.
4. Fundamentalisme agama adalah suatu sikap hidup beragama yang militan, yang juga tidak menghendaki idiologi - idiologi lain hidup disampingnya karena nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya.
F. Kerukunan Ditinjau Dari Sudut Pandang PANCASILA dan UUD 1945
Titik pijak dari pengembangan kerukunan adalah pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang dituangkan dalam sila ke 5 tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ” dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 mengatakan tentang:
1. Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa,
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan antar agama membutuhkan sikap toleransi, namun bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
2. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
3. Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing.
4. Tentang orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar ummat beragama yang berpendapat bahwa semua agama sama dan mereka semua akan memperoleh keselamatan, hal ini tidaklah dapat dibenarkan karena tidak ada persamaan dalam hal akidah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shgidiq, Muhammad Hasbi.2000.Tafsir Al-qur’an Nul Majid.Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Musthafa,Ahmad.1993.Tafsir Al-maraghi.Semarang:Karya Toha Putra.
http://echalhiena.blogspot.com/2011/12/kerukunan-hidup-antarumat-beragama.html
http://muslim.or.id/al-quran/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-ayat-118-jangan-mudah-percaya-dengan-orang-kafir.html
http://tafsir.cahcepu.com/alkaafiruun/al-kaafiruun-1-6/
http://tanias-corner.blogspot.com/2011/06/tafsir-surat-al-mumtahanah-ayat-8-dan-9.html
http://www.scribd.com/doc/46125173/Tafsir-Ibnu-Katsir-Surah-Al-Maidah-Ayat-5
[1]http://echalhiena.blogspot.com/2011/12/kerukunan-hidup-antarumat-beragama.html
[2] Al-qur’an Digital, Al-Mumtahanah 8-9.
[3] Ash-Shgidiq, Muhammad Hasbi.2000.Tafsir Al-qur’an Nul Majid.Semarang:Pustaka Rizki Putra.hal 4186.
[4]http://tanias-corner.blogspot.com/2011/06/tafsir-surat-al-mumtahanah-ayat-8-dan-9.html
[5] Al-Qur’an Digital, Ali Imran 118.
[6]http://muslim.or.id/al-quran/tafsir-al-quran-surat-ali-imran-ayat-118-jangan-mudah-percaya-dengan-orang-kafir.html
[7] Al-Qur’an Digital, Al-Maidah 5.
[8] http://www.scribd.com/doc/46125173/Tafsir-Ibnu-Katsir-Surah-Al-Maidah-Ayat-5
[9] Al-Qur’an Digital, Al-Kafirun 1-6.
[10] Musthafa,Ahmad.1993.Tafsir Al-maraghi.Semarang:Karya Toha Putra.hal 446-449.
[11]http://tafsir.cahcepu.com/alkaafiruun/al-kaafiruun-1-6/