Kewajiban Menuntut Ilmu
Tafsir Surat Al-Alaq ayat 1-5, At-Taubah ayat 122 dan Al-Ghasyiyah ayat 17-20
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu yang berupa kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an yang berupa kalam Allah ini merupakan kitab atau wahyu yang istimewa dibandingkan dengan wahyu-wahyu yang lainnya. Bahkan salah satu keistimewaannya adalah tidak ada satu bacaan-pun sejak peradaban baca tulis dikenal lima ribu tahun yang lalu, yang dibaca baik oleh orang yang mengerti artinya, maupun oleh orang yang tidak mengerti artinya. Di samping itu, al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Islam dan sebagai petunjuk ke jalan yang benar untuk totalitas umat manusia yang tujuan utamanya mengantarkan manusia kepada suatu kehidupan yang membahagiakannya untuk kehidupan sekarang dan juga esok di akhirat.
Abdurrahman Soleh Abdullah menjelaskan bahwa, al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan. Di samping itu juga Nashr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah laut, pantainya adalah ilmu-ilmu kulit dan cangkang, dan kedalamannya adalah lapisan tertinggi dari ilmu-ilmu inti.” Maka dari itu, dalam al-Qur’an terdapat dorongan-dorongan atau motivasi agar manusia mencari ilmu atau memperdalam pengetahuannya.
Di samping al-Qur’an, hadits juga menguraikan mengenai perintah agar manusia selalu melakukan pendidikan dan menuntut ilmu untuk mengembangkan pengetahuannya. Banyak hadits yang menerangkan mengenai hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara langsung mengutarakan tentang kewajiban mencari ilmu atau mengembangkan ilmu pengetahuan, namun ayat tersebut tersirat dalam beberapa ayat yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini penulis hanya mengambil beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua ayat tarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan kewajiban menuntut ilmu:
Q.S.al-Alaq/96:1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Q.S.al-Taubah/9:122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Q.S.al-Ghasyiyah/88:17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Apabila kita perhatikan, terjemahan DEPAG di atas, nampaknya tidak mengapresiasikan proses atau perintah menuntut ilmu kecuali ayat yang penulis eksplore pada bagian pertama dan kedua, dan itupun memerlukan pemikiran dan penghayatan yang lebih jeli lagi. Kita ambil contoh perintah bacalah, tentunya menunjukkan proses membaca yang harus dilakukan oleh seorang manusia. Kata yang mengilhami adanya kompetensi dalam ayat tersebut adalah kata iqra’. Kata iqra’ berasal dari kataqara’a pada mulanya berarti menghimpun. Kemudian lafadz tersebut diartikan dengan arti membaca. Namun sebagaimana konteks pada saat itu, Nabi dalam keadaan ummi, maka dari itu menurut penulis ini merupakan perintah kepada Nabi untuk membaca yang tersirat. Dan ini berimplikasi kepada seluruh manusia yaitu perintah mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Terlebih lagi pada ayat yang terdapat dalam surat al-Ghasiyah tersebut. Ayat tersebut hanya merupakan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun membutuhkan pemikiran. Kalau ahli bahasa tentunya dapat memahami bahwa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tersebut merupakan perintah untuk berpikir dan selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun penguasaan ilmu pengetahuan tersebut harus dilandasi dengan niat yang benar, yaitu karena Allah. Tanpa niat karena Allah, maka apa yang dilakukan oleh pendidik tidak akan mempunyai arti apa-apa.
Maka dapat dikatakan jika dalam terjemahan Depag belum dapat dilihat langsung perintah atau kewajiban belajar atau menuntut ilmu, kecuali bagi orang-orang yang berpikir dan meneliti tentang al-Qur’an.[2]
2. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Asbab al-Nuzul
Sedangkan Zuhdi dalam bukunya mengatakan asbab al-nuzul adalah semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat/beberapa ayat yang mengandung sebabnya atau memberi jawaban terhadap sebabnya atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peritiwa itu. Lebih lanjut Al-Zarqani, menyebutkan asbabun nuzul ialah sesuatu yang turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara tentangnya (sesuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam pengetahuan kita tentang asbabun nuzul tentunya memiliki beberapa macam manfaat. Para ulama berpendapat manfaat mengetahui asbab al-nuzul, sebagaimana diuraikan oleh Baidan, antara lain:
1. Menurut Al-Wahidi; seseorang tidak mungkin mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan keterangan turunnya.
2. Menurut Ibnu Taimiyah; bahwa mengetahui sebab turunnya ayat Al-Qur’an dapat menolong memahami ayat tersebut, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan tentang akibatnya.
3. Menurut Al-Suyuthi; bahwa sebagian ulama yang kesulitan memahami Al-Qur’an akan teratasi kesulitannya dengan mengetahui sebab turunnya ayat yang bersangkutan.[3]
Ayat-ayat yang penulis eksplore di atas, ternyata bertepatan mempunyai asbab al-nuzul. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Q.S.al-Alaq: 1-5: “Yahya bin Bukhair meriwayatkan kepada kami, dia berkata Al-Lais telah meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah ibn Zubair dari Aisyah Ummu al-Mukminin bahwa beliau berkata: Wahyu yang pertama kali diterima oleh Rasulullah SAW adalah berupa mimpi yang baik dalam tidur, Muka beliau tidak melihat di dalam mimpi itu melainkan dating bagaikan cahaya subuh. Setelah itu, beliau suka menyendiri. Beliau menyendiri di Gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam di sana. Setelah itu beliau kembali ke rumah untuk mengambil bekal, lalu kembali lagi ke Gua Hira’ sampai datang kepadanya al-haq (kebenaran) ketika beliau masih berada di sana. Tak lama berselang, datang malaikat seraya berkata iqra’ aku menjawab (saya tidak bisa membaca) lalu malaikat merangkul dan memelukku sehingga aku kepayahan, kemudian ia melepaskanku dan berkata iqra’ , aku menjawab (saya tidak bisa membaca). Lalu ia merangkul dan memelukku lagi sampai aku kepayahan,, kemudian melepaskanku dan berkata iqra’, aku menjawab (aku tidak bisa membaca). Lalu ia merangkul dan memelukku sampai aku kepayahan, kemudian melepaskanku untuk ketiga kalinya, lalu ia berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Setelah peristiwa yang mencekam itu. Rasulullah pulang ke rumah dalam keadaan gemetar, sehingga bagitu sampai di rumah beliau berkata kepada istrinya Khadijah: “selimuti aku, selimuti aku”. Maka ia menyelimutinya, sampai ketakutannya hilang, lalu beliau menceritakan kepada Khadijah kejadian yang menimpanya, dan berkata: “aku khawatir terhadap diriku”. Tanpa berpikir panjang, Khadijahpun berkata: “Sekali-kali tidak begitu, demi Allah, Allah tidak akan mengecewakan kamu selama-lamanya. Engkau akan menghubungkan sillaturrahmi, memikul tanggung jawab, mengusahakan yang belum ada, memuliakan tamu dan membela kebenaran”.
Dari riwayat di atas dapat diketahui bahwa ayat tersebut turun dengan didahului oleh mimpi yang benar (ru’ya al-Shalihah). Mimpi tersebut menurut al-Kasymiri, berfungsi sebagai pengingat dan pertanda bahwa ia tersebut dalam keadaan hatinya tidak tidur, yang itu semua merupakan seperempat puluh enam dari masa kenabian.[4]
Q.S.al-Taubah: 122: Dikemukakan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Ikrimah yang berkata, ketika diturunkannya ayat Q.S. al-Taubah:39 ada beberapa orang yang bertempat tinggal jauh dari kota yang tidak ikut berperang dan mereka mengajar kaumnya. Berkatalah orang-orang munafik: Sungguh ada beberapa orang di kampung-kampung itu yang tidak ikut berangkat perang, binasalah penghuni-penghuni kampung itu. Maka turun ayat ini yang membenarkan orang-orang yang tidak ikut berperang bersama Rasulullah tetapi mereka mendalami ilmu agama dan menyebarkannya kepada kaumnya.
Q.S.al-Ghasyiyah: 17-20: Dikemukakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah, berkata: ketika Allah menyifati apa yang ada dalam surga, orang-orang sesat merasa heran. Maka allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa itu, untuk menyuruh memperhatikan penciptaan unta sebagai suatu tanda kekuasaan dan keluhuran serta keajaiban ciptaan Allah.
Dari asbab al-Nuzul tersebut tampak, bahwa dalam surah al-Alaq terdapat langsung perintah membaca yang merupakan sarana pengembangan pengetahuan. Sedangkan dalam asbab al-nuzul pada ayat yang berikutnya terdapat cerita orang-orang yang tidak ikut berperang, namun melakukan pendalaman keilmuan atau kegiatan pembelajaran. Maka dalam ayat 122 surah al-Taubah ini, asbab al-nuzul sudah jelas menunjukkan hal tersebut.
Sedangkan pada asbab al-nuzul surah al-Ghasyiyah masih belum terdapat wacana yang jelas bahwa itu merupakan ayat yang menunjukkan kewajiban menuntut ilmu. Namun melalui interpretasi, maka dapat dinilai bahwa asbab al-nuzul itu menunjukkan perintah merenungkan ciptaan Allah atau membaca dalam arti yang luas.[5]
3. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Kitab-Kitab Tafsir
Q.S. al-Alaq:
Qurtubi
اقرأ ما أنزل إليك من القرآن مفتتحاً باسم ربك ، وهو أن تذكر التسمية في ابتداء كل سورة . فمحل الباء من «باسم ربك» النصب على الحال . وقيل : الباء بمعنى على ، أي اقرأ على اسم ربك . يقال : فعل كذا باسم الله ، وعلى اسم الله . وعلى هذا فالمقروء محذوف ، أي اقرأ القرآن ، وافتتحه باسم الله . وقال قوم : اسم ربك هو القرآن
Menurut al-Qurtubi, maksud dari kata iqra’ disini adalah bacalah al-Qur’an dengan dimulai membacabismillah pada setiap surahnya.
Thabari
يعني جل ثناؤه بقوله:( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ ) محمدا صلى الله عليه وسلم يقول: اقرأ يا محمد بذكر ربك( الَّذِي خَلَقَ ) ثم بين الذي خلق
Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bacalah hai Muhammad dengan menyebut nama Tuhanmu.
Ibn Katsir
قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، حدثنا مَعْمَر، عن الزهري، عن عُرْوَة، عن عائشة قالت: أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصادقة في النوم، فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فَلَق الصبح. ثم حُبب إليه الخلاء، فكان يأتي حراء فيتحنث فيه -وهو: التعبد-الليالي ذواتَ العدد، ويتزود لذلك ثم يرجع إلى خديجة فَتُزَوِّد (1) لمثلها حتى فَجَأه الحق وهو في غار حراء، فجاءه الملك فيه فقال: اقرأ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فقلت: ما أنا بقارئ” . قال: “فأخذني فَغَطَّني حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني، فقال: اقرأ. فقلت: ما أنا بقارئ. فَغَطَّني الثانية حتى بلغ مني الجهد، ثم أرسلني فقال: اقرأ. فقلت: ما أنا بقارئ. فغطني الثالثة حتى بلغ مني الجهد، ثم أرسلني فقال: { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } حتى بلغ: { مَا لَمْ يَعْلَمْ } قال: فرجع بها تَرجُف بَوادره (2) حتى دخل على خديجة فقال: “زملوني زملوني” . فزملوه حتى ذهب عنه الرَّوْع. فقال: يا خديجة، ما لي: فأخبرها الخبر وقال: “قد خشيت علي”. فقالت له: كلا أبشر فوالله لا يخزيك الله أبدا؛ إنك لتصل الرحم، وتصدُق الحديث، وتحمل الكَلَّ، وتقري الضيف، وتعين على نوائب الحق. ثم انطلقت به خديجة حتى أتت به وَرَقة بن نوفل بن أسَد بن عبد العُزى ابن قُصي -وهو ابن عم خديجة، أخي أبيها، وكان امرأ تنصر في الجاهلية، وكان يكتب الكتاب العربي، وكتب بالعربية من الإنجيل (3) ما شاء الله أن يكتب، وكان شيخًا كبيرًا قد عَميَ -فقالت خديجة: أيّ ابن عم، اسمع من ابن أخيك. فقال ورقة: ابنَ أخي، ما ترى؟ فأخبره رسول الله صلى الله عليه وسلم ما رأى، فقال ورقة: هذا الناموس الذي أنزل على موسى (4) ليتني (5) فيها جَذعا أكونُ حيا حين يخرجك قومك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أومخرجيَّ هُم؟” . فقال ورقة: نعم، لم يأت رجل قط بما جئت به (6) إلا عودي، وإن يُدركني يومك أنصُرْكَ نصرًا مُؤزرًا. [ثم] (7) لم ينشَب وَرَقة أن تُوُفِّي، وفَتَر الوحي فترة حتى حَزن رسول الله صلى الله عليه وسلم -فيما بلغنا-حزنًا غدا منه مرارا كي يَتَردى من رءوس شَوَاهق الجبال، فكلما أوفى بذروة جبل لكي يلقي نفسه منه، تبدى له
Ibn Katsir menyebutkan mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut.
Jalalain
{ اقرأ } أوجد القراءة مبتدئا { باسم رَبِّكَ الذى خَلَقَ } الخلائق .
Bacalah dimulai dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan makhluk.
Q.S. al-Taubah:
Qurtubi
وَمَا كَانَ المؤمنون } وهي أن الجهاد ليس على الأعيان وأنه فرض كفاية كما تقدّم؛ إذ لو نفر الكل لضاع مَن وراءهم من العيال ، فليخرج فريق منهم للجهاد ولْيُقِم فريق يتفقهون في الدين ويحفظون الحريم ، حتى إذا عاد النافرون أعلمهم المقيمون ما تعلّموه من أحكام الشرع ، وما تجدّد نزوله على النبيّ صلى الله عليه وسلم. وهذه الآية ناسخة لقوله تعالى : { إِلاَّ تَنفِرُواْ } وللآية التي قبلها؛ على قول مجاهد وابن زيد.
الثانية هذه الآية أصل في وجوب طلب العلم؛ لأن المعنى : وما كان المؤمنون لينفروا كافَّةً والنبيُّ صلى الله عليه وسلم مقيم لا يَنْفر فيتركوه وحده . { فَلَوْلاَ نَفَرَ } بعد ما علموا أن النفير لا يسع جميعهم . { مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ } وتبقى بقيّتها مع النبيّ صلى الله عليه وسلم ليتحملوا عنه الدين ويتفقهوا؛ فإذا رجع النافرون إليهم أخبروهم بما سمعوا وعلموه . وفي هذا إيجاب التفقه في الكتاب والسنة ، وأنه على الكفاية دون الأعيان . ويدل عليه أيضاً قوله تعالى : { فاسألوا أَهْلَ الذكر إِن كُنْتُم لاَ تَعْلَمُونَ } [ النحل : 43 ] [ الأنبياء : 7 ] . فدخل في هذا من لا يعلم الكتاب والسنن .
Pada intinya jihad adalah fardhu kifayah maka orang yang tidak ikut berjihad diwajibkan untuk menuntut ilmu.
Thabari
(وما كان المؤمنون لينفروا كافة) ، يقول: ما كان المؤمنون لينفروا جميعًا، ويتركوا النبي صلى الله عليه وسلم وحده =(فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة) ، يعني عصبة، يعني السرايا، ولا يتَسرَّوا إلا بإذنه، فإذا رجعت السرايا وقد نزل بعدهم قرآن، تعلمه القاعدون من النبي صلى الله عليه وسلم، قالوا: “إن الله قد أنزل على نبيكم بعدكم قرآنا، وقد تعلمناه”. فيمكث السرايا يتعلَّمون ما أنزل الله على نبيهم بعدهم، [ويبعث سرايا أخر، فذلك قوله:(ليتفقهوا في الدين) ، يقول يتعلمون ما أنزل الله على نبيه]، (1) ويعلموا السرايا إذا رجعت
Maksud al-Thabari di sini adalah ayat tersebut adalah saran supaya orang Islam tidak pergi pulang semua, namun terdapat beberapa orang yang berusaha untuk memahami agama atau al-Qur’an yang selanjutnya mereka mengajarkan kepada golongan yang pergi perang tersebut.
Ibn Katsir
وقد يقال: إن هذا بيان لمراده تعالى من نفير الأحياء كلها، وشرذمة من كل قبيلة إن لم يخرجوا كلهم، ليتفقه الخارجون مع الرسول بما ينزل من الوحي عليه، وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم بما كان من أمر العدو، فيجتمع لهم الأمران في هذا: النفير المعين وبعده، صلوات الله وسلامه عليه، تكون الطائفة النافرة من الحي إما للتفقه وإما للجهاد؛ فإنه فرض كفاية على الأحياء.
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً } يقول: ما كان المؤمنون لينفروا جميعا ويتركوا النبي صلى الله عليه وسلم وحده، { فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ } يعني: عصبة، يعني: السرايا، ولا يَتَسرَّوا (1) إلا بإذنه، فإذا رجعت السرايا وقد نزل بعدهم قرآن تعلمه القاعدون من النبي صلى الله عليه وسلم، وقالوا: إن الله قد أنزل على نبيكم قرآنا، وقد تعلمناه. فتمكث السرايا يتعلمون ما أنزل الله على نبيهم بعدهم، ويبعث سرايا أخرى، فذلك قوله: { لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ } يقول: ليتعلموا ما أنزل الله على نبيهم، وليعلموا السرايا إذا رجعت إليهم { لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ } .
Ayat tersebut adalah dorongan supaya orang Islam tidak pergi pulang semua, namun terdapat beberapa orang yang berusaha untuk memahami agama atau al-Qur’an yang selanjutnya mereka mengajarkan kepada golongan yang pergi perang tersebut
Jalalain
ولما وبخوا على التخلف وأرسل النبي صلى الله عليه وسلم سرية نفروا جميعاً فنزل : { وَمَا كَانَ المؤمنون لِيَنفِرُواْ } إلى الغزو { كآفَّةً فَلَوْلاَ } فهلا { نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ } قبيلة { مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ } جماعة ومكث الباقون { لِّيَتَفَقَّهُواْ } أي الماكثون { فِى الدين وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ } من الغزو بتعليمهم ما تعلّموه من الأحكام { لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ } عقاب الله بامتثال أمره ونهيه . قال ابن عباس : فهذه مخصوصة بالسرايا ، والتي قبلها بالنهي عن تخلف واحد فيما إذا خرج النبي صلى الله عليه وسلم .
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang, sedangkan yang lain tetap di tempatnya, untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
Q.S. al-Ghasyiyah:.
Qurtubi
قوله تعالى : { وَإِلَى السمآء كَيْفَ رُفِعَتْ } أي رُفعت عن الأرض بلا عَمَد . وقيل : رفعت ، فلا ينالها شيء . { وإلى الجبال كَيْفَ نُصِبَتْ } أي كيف نُصبت على الأرض ، بحيث لا تزول؛ وذلك أن الأرض لما دُحِيت مادت ، فأرساهَا بالجبال . كما قال : { وَجَعَلْنَا فِي الأرض رَوَاسِيَ أَن تَمِيدَ بِهِمْ }. { وَإِلَى الأرض كَيْفَ سُطِحَتْ } أي بُسطت ومدّت . وقال أنس : صليت خلف عليّ رضي الله عنه ، فقرأ «كَيفَ خَلَقْتُ» و«رَفَعْتُ» و«نَصَبْتُ» و«سَطَحْتُ» ، بضم التاءات؛ أضاف الضمير إلى الله تعالى
Maksud dari ayat tersebut menurut al-Qurtubi manusia disuruh berpikir bagaimana langit itu ditinggikan, bagaimana gunung itu ditegakkan dan seterusnya. Jadi al-Qurtubi menekankan perintah berpikir untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Thabari
يقول تعالى ذكره لمُنكري قدرته على ما وصف في هذه السورة من العقاب والنكال الذي أعدّه لأهل عداوته، والنعيم والكرامة التي أعدّها لأهل ولايته: أفلا ينظر هؤلاء المنكرون قُدرة الله على هذه الأمور، إلى الإبل كيف خلقها وسخرها لهم وذَلَّلها وجعلها تحمل حملها باركة، ثم تنهض به، والذي خلق ذلك غير عزيز عليه أن يخلق ما وصف من هذه الأمور في الجنة والنار، يقول جلّ ثناؤه: أفلا ينظرون إلى الإبل فيعتبرون بها، ويعلمون أن القُدرة التي قدر بها على خلقها، لن يُعجزه خلق ما شابهها.
Isi dari tafsir ini secara singkat adalah al-Thabari ingin menggambarkan bahwa Allah berkata kepada orang yang ingkar terhadap kekuasaanNya agar mereka berpikir mengenai sesuatu yang real saja, seperti bagaimana penciptaan unta dan lain sebagainya.
Ibn Katsir
يقول تعالى آمرًا عباده بالنظر في مخلوقاته الدالة على قدرته وعظمته: { أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ } ؟ فإنها خَلق عجيب، وتركيبها غريب، فإنها في غاية القوة والشدة، وهي مع ذلك تلين للحمل الثقيل، وتنقاد للقائد الضعيف، وتؤكل، وينتفع بوبرها، ويشرب لبنها. ونبهوا بذلك لأن العرب غالب دوابهم كانت الإبل، وكان شريح القاضي يقول: اخرجوا بنا حتى ننظر إلى الإبل كيف خلقت، وإلى السماء كيف رفعت؟ أي: كيف رفعها الله، عز وجل، عن الأرض هذا الرفع العظيم، كما قال تعالى: { أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ } [ق:6] { وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ } أي: جعلت منصوبة قائمة ثابتة راسية لئلا تميد الأرض بأهلها، وجعل فيها ما جعل من المنافع والمعادن. { وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ } ؟ أي: كيف بسطت ومدت ومهدت، فنبَّه البدوي على الاستدلال بما يشاهده من بعيره الذي هو راكب عليه، والسماء التي فوق رأسه، والجبل الذي تجاهه، والأرض التي تحته-على قدرة خالق ذلك وصانعه، وأنه الرب العظيم الخالق المتصرف المالك، وأنه الإله الذي لا يستحق العبادة سواه. وهكذا أقسم “ضِمَام” في سؤاله على رسول الله صلى الله عليه وسلم، كما رواه الإمام أحمد حيث قال: حدثنا هاشم بن القاسم، حدثنا سليمان بن المغيرة، عن ثابت، عن أنس قال: كنا نهينا أن نسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن شيء، فكان يعجبنا أن يجيء الرجل من أهل البادية العاقل فيسأله ونحن نسمع، فجاء رجل من أهل البادية فقال: يا محمد، إنه أتانا رسولُك فزعَم لنا أنك تَزعُم أن الله أرسلك. قال: “صدق”. قال: فمن خلق السماء؟ قال: “الله”. قال: فمن خلق الأرض؟ قال: “الله”. قال: فمن نصب هذه الجبال وجعل فيها ما جعل؟ قال: “الله”. قال: فبالذي خلق السماء والأرض ونصب هذه الجبال، آللهُ أرسلك؟ قال: “نعم”. قال: وزعم رسولُك أن علينا خمس صلوات في يومنا وليلتنا. قال: “صدق”. قال: فبالذي أرسلك، آلله أمرك بهذا؟
Ibn Katsir menjelaskan bahwa hendaklah manusia itu berpikir tentang kejadian alam semesta yang akan menunjukkan kepada pencipta alam tersebut yaitu Allah.
Jalalain
{ أَفَلاَ يَنظُرُونَ } أي كفار مكة نظر اعتبار { إِلَى الإبل كَيْفَ خُلِقَتْ } .{ وَإِلَى الأرض كَيْفَ سُطِحَتْ } أي بسطت ، فيستدلون بها على قدرة الله تعالى ووحدانيته ، وصدرت بالإِبل لأنهم أشدّ ملابسة لها من غيرها . وقوله «سطحت» ظاهر في أن الأرض سطح ، وعليه علماء الشرع ، لا كرة كما قاله أهل الهيئة وإن لم ينقض ركناً من أركان الشرع .
Apakah orang kafir Makkah tidak memandang dengan pandangan mengambil pelajaran.
Dari berbagai tafsir yang penulis kutip tersebut terdapat beberapa tafsir yang ketika menafsiri ayat yang penulis pilih telah langsung menunjukkan tentang kewajiban menuntut ilmu, namun tidak semua menunjukkan hal itu secara langsung.
Dari berbagai kajian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang penulis eksplore di atas menunjukkan kewajiban menuntut ilmu dan mengembangkan pengetahuan. Kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang merupakan kata jadian dari ‘alima yang berarti ‘tahu’ atau ‘mengetahui’. Akar kata ‘a-l-m dalam bahasa Semit mempunyai arti tanda (ayat). Ini menimbulkan kesan bahwa terdapat kaitan antara ‘tahu’ dengan ‘tanda’ dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kata ‘ilm dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tanda (ayat) atau mengetahui ayat. Adapun yang dimaksudkan dengan ‘tanda’ atau ayat dalam konteks pengetahuan adalah fenomena-fenomena alam semesta dengan segala isinya. Dari sini dapat dirumuskan dalam bahasa Indonesia kata ilmu tersebut diartikan sebagai pengetahuan yang tersusun secara rapi.
Dengan mengembangkan dan menuntut ilmu, manusia akan menjadi makhluk yang mulia dan mempunyai derajat tinggi di hadapan Allah dan manusia yang lainnya. Maka sudah selayaknya jika sebagai umat Islam wajib menuntut ilmu, bahkan cukup banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat diinterpertasi untuk memotivasi umat Islam dalam menuntut ilmu.[6]
4. Hadits Kewajiban Menuntut Ilmu
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Artinya: Barang siapa yang Allah menghendaki dia baik maka Allah akan memahamkannya dalam masalah agama, dan aku adalah orang yang bersumpah, allah akan memberi dan ketika umat ini tidak akan bergeser untuk mendirikan perintah allah maka orang yang berbeda dengan umat ini tidak akan membahayakannya sehingga datang perkara Allah.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْلُكُ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا إِلَّا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقَ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Artinya: Tidak ada seorang laki-laki yang berjalan dijalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga, barang siapa yang kendor amalnya nasabnya tidak akan mempercepatnya.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Artinya: Barang siapa yang berjalan di jalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ الْمُرَادِيَّ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ أُنْبِطُ الْعِلْمَ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَّا وَضَعَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
Artinya: Tidak ada orang yang keluar untuk mencari ilmu kecuali malaikat meletakkan sayapnya kepada orang tersebut karena ridho dengan apa yang diperbuatnya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ أَبُو دَاوُدَ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَلَا نَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ كَبِيرَ شَيْءٍ وَلَا لِأَبِيهِ وَاسْمُ أَبِي دَاوُدَ نُفَيْعٌ الْأَعْمَى تَكَلَّمَ فِيهِ قَتَادَةُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu maka ilmu itu akan menjadi tebusan sesuatu yang terdahulu.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah atau menghendaki selain Allah maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ جَنَاحٍ أَبُو سَعْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Artinya: Orang alim fiqih satu lebih berat dari pada seribu ahli ibadah menurut setan.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Artinya: Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim, dan meletakkan ilmu pada selain ahlinya seperti halnya mengalungi babi hutan dengan permata, mutiara dan emas.
Orang menuntut ilmu itu merupakan kemauan sendiri. Orang yang menuntut ilmu akan diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk kepada seseorang. Jika seseorang tersebut sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik, maka Allah akan memudahkannya dalam memahami agama, dan sebaliknya. Namun demikian manusia tidak boleh menyerah dan tidak boleh hanya pasrah tanpa adanya usaha. Perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya. Pembawaan seseorang baru berkembang karena mendapat pengaruh dari lingkungan.
Hadits yang kedua, ketiga dan keempat tersebut pada dasarnya sama yaitu menyatakan tentang keutamaan ilmu dan orang yang mencari ilmu.
Mencari ilmu merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan sulit. Karena dengan ilmu manusia tidak akan lagi berakhlak seperti binatang. Maka malaikatpun ridho terhadap apa yang diperbuat oleh manusia tersebut.
Hadits yang selanjutnya adalah tentang ilmu merupakan pelebur terhadap amal yang ia perbuat sebelumnya, karena orang yang beramal tanpa didasari ilmu maka amalnya tidak sah. Dan orang yang beramal tanpa ada landasan ilmu, ibarat pesawat yang terbang tanpa landasan.
Orang yang mencari ilmu atau menjalani pendidikan hendaklah berniat karena Allah. Orang yang mencari ilmu dengan niat selain Allah maka Allah akan memberikan siksaan kepadanya. Ilmu merupakan sesuatu yang mulia, dan pada dasarnya semua ilmu adalah milik Allah. Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu, akan tetapi dalam Islam ada pembagian ilmu menjadi mahmudah dan madzmumah.
Hadits yang selanjutnya menerangkan tentang keutamaan orang yang berilmu. Orang yang mempunyai ilmu lebih berat untuk digoda menurut setan daripada ahli ibadah yang jumlahnya seribu. Hadits terakhir yang penulis kemukakan dalam subbab ini adalah hadits mengenai kewajiban mencari ilmu bagi seluruh umat Islam. Sekarang ini umat Islam sudah mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan golongan orientalis. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan tersebut kita sebagai umat Islam harus senantiasa gemar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan bagian dari kebutuhan alami manusia
2. Belajar merpakan proses menuju perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik, baik melalui pembacaan, pengamatan, penelitian, perenungan dan pengalaman langsung
3. Al-Qur’an memerintahkan kaum beriman untuk belajar secara berkelanjutan, supaya mereka dapat berkembang mencapai kesempurnaan sebagai hamba Allah dan khalifahNya
4. Objek pembacaan/ pembelajaran mencakup seluruh fenomena alam semesta, manusia, sejarah, tanda-tanda zaman dll
5. Belajar merupakan jalan mencapai sukses dan kebahagiaan
6. Karakteristik atau ciri khas belajar dalam persektif al-Qura’an dan Hadist Nabi adalah:
a. Belajar bagian dari ibadah kepada Allah, karena itu harus dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh
b. Diorientasikan untuk mencapai manfaat dan kemaslahatan
c. Landasan iman senantiasa menjadi paradigma utama, karena itu ia harus mengawal pengembangan sain dan teknologi
d. Mendorong pembelajar untuk menjadi manusia yang takut dan kagum kepada Allah
e. Melibatkan potensi akal, intuisi/hati dan prerasaan serta seluruh panca indra, sehingga terjadi proses tilayah dan tazkiyah
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010)
M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998)
[1] Lihat Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010) Vol. I h, 176-177
[2] Ibid
[3] Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (terj.) , ( Jakarta : Lentera, 2002 ), hal. 47, 51
[4] Ibid, hal. 53
[5] Ibid, hal. 54
[6] M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998) h. 433
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu yang berupa kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an yang berupa kalam Allah ini merupakan kitab atau wahyu yang istimewa dibandingkan dengan wahyu-wahyu yang lainnya. Bahkan salah satu keistimewaannya adalah tidak ada satu bacaan-pun sejak peradaban baca tulis dikenal lima ribu tahun yang lalu, yang dibaca baik oleh orang yang mengerti artinya, maupun oleh orang yang tidak mengerti artinya. Di samping itu, al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Islam dan sebagai petunjuk ke jalan yang benar untuk totalitas umat manusia yang tujuan utamanya mengantarkan manusia kepada suatu kehidupan yang membahagiakannya untuk kehidupan sekarang dan juga esok di akhirat.
Abdurrahman Soleh Abdullah menjelaskan bahwa, al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam bila tanpa mengambil al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan. Di samping itu juga Nashr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah laut, pantainya adalah ilmu-ilmu kulit dan cangkang, dan kedalamannya adalah lapisan tertinggi dari ilmu-ilmu inti.” Maka dari itu, dalam al-Qur’an terdapat dorongan-dorongan atau motivasi agar manusia mencari ilmu atau memperdalam pengetahuannya.
Di samping al-Qur’an, hadits juga menguraikan mengenai perintah agar manusia selalu melakukan pendidikan dan menuntut ilmu untuk mengembangkan pengetahuannya. Banyak hadits yang menerangkan mengenai hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara langsung mengutarakan tentang kewajiban mencari ilmu atau mengembangkan ilmu pengetahuan, namun ayat tersebut tersirat dalam beberapa ayat yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini penulis hanya mengambil beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua ayat tarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan kewajiban menuntut ilmu:
Q.S.al-Alaq/96:1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Q.S.al-Taubah/9:122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Q.S.al-Ghasyiyah/88:17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Apabila kita perhatikan, terjemahan DEPAG di atas, nampaknya tidak mengapresiasikan proses atau perintah menuntut ilmu kecuali ayat yang penulis eksplore pada bagian pertama dan kedua, dan itupun memerlukan pemikiran dan penghayatan yang lebih jeli lagi. Kita ambil contoh perintah bacalah, tentunya menunjukkan proses membaca yang harus dilakukan oleh seorang manusia. Kata yang mengilhami adanya kompetensi dalam ayat tersebut adalah kata iqra’. Kata iqra’ berasal dari kataqara’a pada mulanya berarti menghimpun. Kemudian lafadz tersebut diartikan dengan arti membaca. Namun sebagaimana konteks pada saat itu, Nabi dalam keadaan ummi, maka dari itu menurut penulis ini merupakan perintah kepada Nabi untuk membaca yang tersirat. Dan ini berimplikasi kepada seluruh manusia yaitu perintah mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Terlebih lagi pada ayat yang terdapat dalam surat al-Ghasiyah tersebut. Ayat tersebut hanya merupakan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun membutuhkan pemikiran. Kalau ahli bahasa tentunya dapat memahami bahwa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tersebut merupakan perintah untuk berpikir dan selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun penguasaan ilmu pengetahuan tersebut harus dilandasi dengan niat yang benar, yaitu karena Allah. Tanpa niat karena Allah, maka apa yang dilakukan oleh pendidik tidak akan mempunyai arti apa-apa.
Maka dapat dikatakan jika dalam terjemahan Depag belum dapat dilihat langsung perintah atau kewajiban belajar atau menuntut ilmu, kecuali bagi orang-orang yang berpikir dan meneliti tentang al-Qur’an.[2]
2. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Asbab al-Nuzul
Sedangkan Zuhdi dalam bukunya mengatakan asbab al-nuzul adalah semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat/beberapa ayat yang mengandung sebabnya atau memberi jawaban terhadap sebabnya atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peritiwa itu. Lebih lanjut Al-Zarqani, menyebutkan asbabun nuzul ialah sesuatu yang turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara tentangnya (sesuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam pengetahuan kita tentang asbabun nuzul tentunya memiliki beberapa macam manfaat. Para ulama berpendapat manfaat mengetahui asbab al-nuzul, sebagaimana diuraikan oleh Baidan, antara lain:
1. Menurut Al-Wahidi; seseorang tidak mungkin mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan keterangan turunnya.
2. Menurut Ibnu Taimiyah; bahwa mengetahui sebab turunnya ayat Al-Qur’an dapat menolong memahami ayat tersebut, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan tentang akibatnya.
3. Menurut Al-Suyuthi; bahwa sebagian ulama yang kesulitan memahami Al-Qur’an akan teratasi kesulitannya dengan mengetahui sebab turunnya ayat yang bersangkutan.[3]
Ayat-ayat yang penulis eksplore di atas, ternyata bertepatan mempunyai asbab al-nuzul. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Q.S.al-Alaq: 1-5: “Yahya bin Bukhair meriwayatkan kepada kami, dia berkata Al-Lais telah meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah ibn Zubair dari Aisyah Ummu al-Mukminin bahwa beliau berkata: Wahyu yang pertama kali diterima oleh Rasulullah SAW adalah berupa mimpi yang baik dalam tidur, Muka beliau tidak melihat di dalam mimpi itu melainkan dating bagaikan cahaya subuh. Setelah itu, beliau suka menyendiri. Beliau menyendiri di Gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam di sana. Setelah itu beliau kembali ke rumah untuk mengambil bekal, lalu kembali lagi ke Gua Hira’ sampai datang kepadanya al-haq (kebenaran) ketika beliau masih berada di sana. Tak lama berselang, datang malaikat seraya berkata iqra’ aku menjawab (saya tidak bisa membaca) lalu malaikat merangkul dan memelukku sehingga aku kepayahan, kemudian ia melepaskanku dan berkata iqra’ , aku menjawab (saya tidak bisa membaca). Lalu ia merangkul dan memelukku lagi sampai aku kepayahan,, kemudian melepaskanku dan berkata iqra’, aku menjawab (aku tidak bisa membaca). Lalu ia merangkul dan memelukku sampai aku kepayahan, kemudian melepaskanku untuk ketiga kalinya, lalu ia berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Setelah peristiwa yang mencekam itu. Rasulullah pulang ke rumah dalam keadaan gemetar, sehingga bagitu sampai di rumah beliau berkata kepada istrinya Khadijah: “selimuti aku, selimuti aku”. Maka ia menyelimutinya, sampai ketakutannya hilang, lalu beliau menceritakan kepada Khadijah kejadian yang menimpanya, dan berkata: “aku khawatir terhadap diriku”. Tanpa berpikir panjang, Khadijahpun berkata: “Sekali-kali tidak begitu, demi Allah, Allah tidak akan mengecewakan kamu selama-lamanya. Engkau akan menghubungkan sillaturrahmi, memikul tanggung jawab, mengusahakan yang belum ada, memuliakan tamu dan membela kebenaran”.
Dari riwayat di atas dapat diketahui bahwa ayat tersebut turun dengan didahului oleh mimpi yang benar (ru’ya al-Shalihah). Mimpi tersebut menurut al-Kasymiri, berfungsi sebagai pengingat dan pertanda bahwa ia tersebut dalam keadaan hatinya tidak tidur, yang itu semua merupakan seperempat puluh enam dari masa kenabian.[4]
Q.S.al-Taubah: 122: Dikemukakan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Ikrimah yang berkata, ketika diturunkannya ayat Q.S. al-Taubah:39 ada beberapa orang yang bertempat tinggal jauh dari kota yang tidak ikut berperang dan mereka mengajar kaumnya. Berkatalah orang-orang munafik: Sungguh ada beberapa orang di kampung-kampung itu yang tidak ikut berangkat perang, binasalah penghuni-penghuni kampung itu. Maka turun ayat ini yang membenarkan orang-orang yang tidak ikut berperang bersama Rasulullah tetapi mereka mendalami ilmu agama dan menyebarkannya kepada kaumnya.
Q.S.al-Ghasyiyah: 17-20: Dikemukakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah, berkata: ketika Allah menyifati apa yang ada dalam surga, orang-orang sesat merasa heran. Maka allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa itu, untuk menyuruh memperhatikan penciptaan unta sebagai suatu tanda kekuasaan dan keluhuran serta keajaiban ciptaan Allah.
Dari asbab al-Nuzul tersebut tampak, bahwa dalam surah al-Alaq terdapat langsung perintah membaca yang merupakan sarana pengembangan pengetahuan. Sedangkan dalam asbab al-nuzul pada ayat yang berikutnya terdapat cerita orang-orang yang tidak ikut berperang, namun melakukan pendalaman keilmuan atau kegiatan pembelajaran. Maka dalam ayat 122 surah al-Taubah ini, asbab al-nuzul sudah jelas menunjukkan hal tersebut.
Sedangkan pada asbab al-nuzul surah al-Ghasyiyah masih belum terdapat wacana yang jelas bahwa itu merupakan ayat yang menunjukkan kewajiban menuntut ilmu. Namun melalui interpretasi, maka dapat dinilai bahwa asbab al-nuzul itu menunjukkan perintah merenungkan ciptaan Allah atau membaca dalam arti yang luas.[5]
3. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Kitab-Kitab Tafsir
Q.S. al-Alaq:
Qurtubi
اقرأ ما أنزل إليك من القرآن مفتتحاً باسم ربك ، وهو أن تذكر التسمية في ابتداء كل سورة . فمحل الباء من «باسم ربك» النصب على الحال . وقيل : الباء بمعنى على ، أي اقرأ على اسم ربك . يقال : فعل كذا باسم الله ، وعلى اسم الله . وعلى هذا فالمقروء محذوف ، أي اقرأ القرآن ، وافتتحه باسم الله . وقال قوم : اسم ربك هو القرآن
Menurut al-Qurtubi, maksud dari kata iqra’ disini adalah bacalah al-Qur’an dengan dimulai membacabismillah pada setiap surahnya.
Thabari
يعني جل ثناؤه بقوله:( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ ) محمدا صلى الله عليه وسلم يقول: اقرأ يا محمد بذكر ربك( الَّذِي خَلَقَ ) ثم بين الذي خلق
Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bacalah hai Muhammad dengan menyebut nama Tuhanmu.
Ibn Katsir
قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الرزاق، حدثنا مَعْمَر، عن الزهري، عن عُرْوَة، عن عائشة قالت: أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصادقة في النوم، فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فَلَق الصبح. ثم حُبب إليه الخلاء، فكان يأتي حراء فيتحنث فيه -وهو: التعبد-الليالي ذواتَ العدد، ويتزود لذلك ثم يرجع إلى خديجة فَتُزَوِّد (1) لمثلها حتى فَجَأه الحق وهو في غار حراء، فجاءه الملك فيه فقال: اقرأ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فقلت: ما أنا بقارئ” . قال: “فأخذني فَغَطَّني حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني، فقال: اقرأ. فقلت: ما أنا بقارئ. فَغَطَّني الثانية حتى بلغ مني الجهد، ثم أرسلني فقال: اقرأ. فقلت: ما أنا بقارئ. فغطني الثالثة حتى بلغ مني الجهد، ثم أرسلني فقال: { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } حتى بلغ: { مَا لَمْ يَعْلَمْ } قال: فرجع بها تَرجُف بَوادره (2) حتى دخل على خديجة فقال: “زملوني زملوني” . فزملوه حتى ذهب عنه الرَّوْع. فقال: يا خديجة، ما لي: فأخبرها الخبر وقال: “قد خشيت علي”. فقالت له: كلا أبشر فوالله لا يخزيك الله أبدا؛ إنك لتصل الرحم، وتصدُق الحديث، وتحمل الكَلَّ، وتقري الضيف، وتعين على نوائب الحق. ثم انطلقت به خديجة حتى أتت به وَرَقة بن نوفل بن أسَد بن عبد العُزى ابن قُصي -وهو ابن عم خديجة، أخي أبيها، وكان امرأ تنصر في الجاهلية، وكان يكتب الكتاب العربي، وكتب بالعربية من الإنجيل (3) ما شاء الله أن يكتب، وكان شيخًا كبيرًا قد عَميَ -فقالت خديجة: أيّ ابن عم، اسمع من ابن أخيك. فقال ورقة: ابنَ أخي، ما ترى؟ فأخبره رسول الله صلى الله عليه وسلم ما رأى، فقال ورقة: هذا الناموس الذي أنزل على موسى (4) ليتني (5) فيها جَذعا أكونُ حيا حين يخرجك قومك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أومخرجيَّ هُم؟” . فقال ورقة: نعم، لم يأت رجل قط بما جئت به (6) إلا عودي، وإن يُدركني يومك أنصُرْكَ نصرًا مُؤزرًا. [ثم] (7) لم ينشَب وَرَقة أن تُوُفِّي، وفَتَر الوحي فترة حتى حَزن رسول الله صلى الله عليه وسلم -فيما بلغنا-حزنًا غدا منه مرارا كي يَتَردى من رءوس شَوَاهق الجبال، فكلما أوفى بذروة جبل لكي يلقي نفسه منه، تبدى له
Ibn Katsir menyebutkan mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut.
Jalalain
{ اقرأ } أوجد القراءة مبتدئا { باسم رَبِّكَ الذى خَلَقَ } الخلائق .
Bacalah dimulai dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan makhluk.
Q.S. al-Taubah:
Qurtubi
وَمَا كَانَ المؤمنون } وهي أن الجهاد ليس على الأعيان وأنه فرض كفاية كما تقدّم؛ إذ لو نفر الكل لضاع مَن وراءهم من العيال ، فليخرج فريق منهم للجهاد ولْيُقِم فريق يتفقهون في الدين ويحفظون الحريم ، حتى إذا عاد النافرون أعلمهم المقيمون ما تعلّموه من أحكام الشرع ، وما تجدّد نزوله على النبيّ صلى الله عليه وسلم. وهذه الآية ناسخة لقوله تعالى : { إِلاَّ تَنفِرُواْ } وللآية التي قبلها؛ على قول مجاهد وابن زيد.
الثانية هذه الآية أصل في وجوب طلب العلم؛ لأن المعنى : وما كان المؤمنون لينفروا كافَّةً والنبيُّ صلى الله عليه وسلم مقيم لا يَنْفر فيتركوه وحده . { فَلَوْلاَ نَفَرَ } بعد ما علموا أن النفير لا يسع جميعهم . { مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ } وتبقى بقيّتها مع النبيّ صلى الله عليه وسلم ليتحملوا عنه الدين ويتفقهوا؛ فإذا رجع النافرون إليهم أخبروهم بما سمعوا وعلموه . وفي هذا إيجاب التفقه في الكتاب والسنة ، وأنه على الكفاية دون الأعيان . ويدل عليه أيضاً قوله تعالى : { فاسألوا أَهْلَ الذكر إِن كُنْتُم لاَ تَعْلَمُونَ } [ النحل : 43 ] [ الأنبياء : 7 ] . فدخل في هذا من لا يعلم الكتاب والسنن .
Pada intinya jihad adalah fardhu kifayah maka orang yang tidak ikut berjihad diwajibkan untuk menuntut ilmu.
Thabari
(وما كان المؤمنون لينفروا كافة) ، يقول: ما كان المؤمنون لينفروا جميعًا، ويتركوا النبي صلى الله عليه وسلم وحده =(فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة) ، يعني عصبة، يعني السرايا، ولا يتَسرَّوا إلا بإذنه، فإذا رجعت السرايا وقد نزل بعدهم قرآن، تعلمه القاعدون من النبي صلى الله عليه وسلم، قالوا: “إن الله قد أنزل على نبيكم بعدكم قرآنا، وقد تعلمناه”. فيمكث السرايا يتعلَّمون ما أنزل الله على نبيهم بعدهم، [ويبعث سرايا أخر، فذلك قوله:(ليتفقهوا في الدين) ، يقول يتعلمون ما أنزل الله على نبيه]، (1) ويعلموا السرايا إذا رجعت
Maksud al-Thabari di sini adalah ayat tersebut adalah saran supaya orang Islam tidak pergi pulang semua, namun terdapat beberapa orang yang berusaha untuk memahami agama atau al-Qur’an yang selanjutnya mereka mengajarkan kepada golongan yang pergi perang tersebut.
Ibn Katsir
وقد يقال: إن هذا بيان لمراده تعالى من نفير الأحياء كلها، وشرذمة من كل قبيلة إن لم يخرجوا كلهم، ليتفقه الخارجون مع الرسول بما ينزل من الوحي عليه، وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم بما كان من أمر العدو، فيجتمع لهم الأمران في هذا: النفير المعين وبعده، صلوات الله وسلامه عليه، تكون الطائفة النافرة من الحي إما للتفقه وإما للجهاد؛ فإنه فرض كفاية على الأحياء.
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً } يقول: ما كان المؤمنون لينفروا جميعا ويتركوا النبي صلى الله عليه وسلم وحده، { فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ } يعني: عصبة، يعني: السرايا، ولا يَتَسرَّوا (1) إلا بإذنه، فإذا رجعت السرايا وقد نزل بعدهم قرآن تعلمه القاعدون من النبي صلى الله عليه وسلم، وقالوا: إن الله قد أنزل على نبيكم قرآنا، وقد تعلمناه. فتمكث السرايا يتعلمون ما أنزل الله على نبيهم بعدهم، ويبعث سرايا أخرى، فذلك قوله: { لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ } يقول: ليتعلموا ما أنزل الله على نبيهم، وليعلموا السرايا إذا رجعت إليهم { لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ } .
Ayat tersebut adalah dorongan supaya orang Islam tidak pergi pulang semua, namun terdapat beberapa orang yang berusaha untuk memahami agama atau al-Qur’an yang selanjutnya mereka mengajarkan kepada golongan yang pergi perang tersebut
Jalalain
ولما وبخوا على التخلف وأرسل النبي صلى الله عليه وسلم سرية نفروا جميعاً فنزل : { وَمَا كَانَ المؤمنون لِيَنفِرُواْ } إلى الغزو { كآفَّةً فَلَوْلاَ } فهلا { نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ } قبيلة { مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ } جماعة ومكث الباقون { لِّيَتَفَقَّهُواْ } أي الماكثون { فِى الدين وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ } من الغزو بتعليمهم ما تعلّموه من الأحكام { لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ } عقاب الله بامتثال أمره ونهيه . قال ابن عباس : فهذه مخصوصة بالسرايا ، والتي قبلها بالنهي عن تخلف واحد فيما إذا خرج النبي صلى الله عليه وسلم .
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang, sedangkan yang lain tetap di tempatnya, untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
Q.S. al-Ghasyiyah:.
Qurtubi
قوله تعالى : { وَإِلَى السمآء كَيْفَ رُفِعَتْ } أي رُفعت عن الأرض بلا عَمَد . وقيل : رفعت ، فلا ينالها شيء . { وإلى الجبال كَيْفَ نُصِبَتْ } أي كيف نُصبت على الأرض ، بحيث لا تزول؛ وذلك أن الأرض لما دُحِيت مادت ، فأرساهَا بالجبال . كما قال : { وَجَعَلْنَا فِي الأرض رَوَاسِيَ أَن تَمِيدَ بِهِمْ }. { وَإِلَى الأرض كَيْفَ سُطِحَتْ } أي بُسطت ومدّت . وقال أنس : صليت خلف عليّ رضي الله عنه ، فقرأ «كَيفَ خَلَقْتُ» و«رَفَعْتُ» و«نَصَبْتُ» و«سَطَحْتُ» ، بضم التاءات؛ أضاف الضمير إلى الله تعالى
Maksud dari ayat tersebut menurut al-Qurtubi manusia disuruh berpikir bagaimana langit itu ditinggikan, bagaimana gunung itu ditegakkan dan seterusnya. Jadi al-Qurtubi menekankan perintah berpikir untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Thabari
يقول تعالى ذكره لمُنكري قدرته على ما وصف في هذه السورة من العقاب والنكال الذي أعدّه لأهل عداوته، والنعيم والكرامة التي أعدّها لأهل ولايته: أفلا ينظر هؤلاء المنكرون قُدرة الله على هذه الأمور، إلى الإبل كيف خلقها وسخرها لهم وذَلَّلها وجعلها تحمل حملها باركة، ثم تنهض به، والذي خلق ذلك غير عزيز عليه أن يخلق ما وصف من هذه الأمور في الجنة والنار، يقول جلّ ثناؤه: أفلا ينظرون إلى الإبل فيعتبرون بها، ويعلمون أن القُدرة التي قدر بها على خلقها، لن يُعجزه خلق ما شابهها.
Isi dari tafsir ini secara singkat adalah al-Thabari ingin menggambarkan bahwa Allah berkata kepada orang yang ingkar terhadap kekuasaanNya agar mereka berpikir mengenai sesuatu yang real saja, seperti bagaimana penciptaan unta dan lain sebagainya.
Ibn Katsir
يقول تعالى آمرًا عباده بالنظر في مخلوقاته الدالة على قدرته وعظمته: { أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ } ؟ فإنها خَلق عجيب، وتركيبها غريب، فإنها في غاية القوة والشدة، وهي مع ذلك تلين للحمل الثقيل، وتنقاد للقائد الضعيف، وتؤكل، وينتفع بوبرها، ويشرب لبنها. ونبهوا بذلك لأن العرب غالب دوابهم كانت الإبل، وكان شريح القاضي يقول: اخرجوا بنا حتى ننظر إلى الإبل كيف خلقت، وإلى السماء كيف رفعت؟ أي: كيف رفعها الله، عز وجل، عن الأرض هذا الرفع العظيم، كما قال تعالى: { أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ } [ق:6] { وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ } أي: جعلت منصوبة قائمة ثابتة راسية لئلا تميد الأرض بأهلها، وجعل فيها ما جعل من المنافع والمعادن. { وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ } ؟ أي: كيف بسطت ومدت ومهدت، فنبَّه البدوي على الاستدلال بما يشاهده من بعيره الذي هو راكب عليه، والسماء التي فوق رأسه، والجبل الذي تجاهه، والأرض التي تحته-على قدرة خالق ذلك وصانعه، وأنه الرب العظيم الخالق المتصرف المالك، وأنه الإله الذي لا يستحق العبادة سواه. وهكذا أقسم “ضِمَام” في سؤاله على رسول الله صلى الله عليه وسلم، كما رواه الإمام أحمد حيث قال: حدثنا هاشم بن القاسم، حدثنا سليمان بن المغيرة، عن ثابت، عن أنس قال: كنا نهينا أن نسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن شيء، فكان يعجبنا أن يجيء الرجل من أهل البادية العاقل فيسأله ونحن نسمع، فجاء رجل من أهل البادية فقال: يا محمد، إنه أتانا رسولُك فزعَم لنا أنك تَزعُم أن الله أرسلك. قال: “صدق”. قال: فمن خلق السماء؟ قال: “الله”. قال: فمن خلق الأرض؟ قال: “الله”. قال: فمن نصب هذه الجبال وجعل فيها ما جعل؟ قال: “الله”. قال: فبالذي خلق السماء والأرض ونصب هذه الجبال، آللهُ أرسلك؟ قال: “نعم”. قال: وزعم رسولُك أن علينا خمس صلوات في يومنا وليلتنا. قال: “صدق”. قال: فبالذي أرسلك، آلله أمرك بهذا؟
Ibn Katsir menjelaskan bahwa hendaklah manusia itu berpikir tentang kejadian alam semesta yang akan menunjukkan kepada pencipta alam tersebut yaitu Allah.
Jalalain
{ أَفَلاَ يَنظُرُونَ } أي كفار مكة نظر اعتبار { إِلَى الإبل كَيْفَ خُلِقَتْ } .{ وَإِلَى الأرض كَيْفَ سُطِحَتْ } أي بسطت ، فيستدلون بها على قدرة الله تعالى ووحدانيته ، وصدرت بالإِبل لأنهم أشدّ ملابسة لها من غيرها . وقوله «سطحت» ظاهر في أن الأرض سطح ، وعليه علماء الشرع ، لا كرة كما قاله أهل الهيئة وإن لم ينقض ركناً من أركان الشرع .
Apakah orang kafir Makkah tidak memandang dengan pandangan mengambil pelajaran.
Dari berbagai tafsir yang penulis kutip tersebut terdapat beberapa tafsir yang ketika menafsiri ayat yang penulis pilih telah langsung menunjukkan tentang kewajiban menuntut ilmu, namun tidak semua menunjukkan hal itu secara langsung.
Dari berbagai kajian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang penulis eksplore di atas menunjukkan kewajiban menuntut ilmu dan mengembangkan pengetahuan. Kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang merupakan kata jadian dari ‘alima yang berarti ‘tahu’ atau ‘mengetahui’. Akar kata ‘a-l-m dalam bahasa Semit mempunyai arti tanda (ayat). Ini menimbulkan kesan bahwa terdapat kaitan antara ‘tahu’ dengan ‘tanda’ dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kata ‘ilm dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tanda (ayat) atau mengetahui ayat. Adapun yang dimaksudkan dengan ‘tanda’ atau ayat dalam konteks pengetahuan adalah fenomena-fenomena alam semesta dengan segala isinya. Dari sini dapat dirumuskan dalam bahasa Indonesia kata ilmu tersebut diartikan sebagai pengetahuan yang tersusun secara rapi.
Dengan mengembangkan dan menuntut ilmu, manusia akan menjadi makhluk yang mulia dan mempunyai derajat tinggi di hadapan Allah dan manusia yang lainnya. Maka sudah selayaknya jika sebagai umat Islam wajib menuntut ilmu, bahkan cukup banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat diinterpertasi untuk memotivasi umat Islam dalam menuntut ilmu.[6]
4. Hadits Kewajiban Menuntut Ilmu
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Artinya: Barang siapa yang Allah menghendaki dia baik maka Allah akan memahamkannya dalam masalah agama, dan aku adalah orang yang bersumpah, allah akan memberi dan ketika umat ini tidak akan bergeser untuk mendirikan perintah allah maka orang yang berbeda dengan umat ini tidak akan membahayakannya sehingga datang perkara Allah.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْلُكُ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا إِلَّا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقَ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Artinya: Tidak ada seorang laki-laki yang berjalan dijalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga, barang siapa yang kendor amalnya nasabnya tidak akan mempercepatnya.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Artinya: Barang siapa yang berjalan di jalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ الْمُرَادِيَّ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ أُنْبِطُ الْعِلْمَ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَّا وَضَعَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
Artinya: Tidak ada orang yang keluar untuk mencari ilmu kecuali malaikat meletakkan sayapnya kepada orang tersebut karena ridho dengan apa yang diperbuatnya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ أَبُو دَاوُدَ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَلَا نَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ كَبِيرَ شَيْءٍ وَلَا لِأَبِيهِ وَاسْمُ أَبِي دَاوُدَ نُفَيْعٌ الْأَعْمَى تَكَلَّمَ فِيهِ قَتَادَةُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu maka ilmu itu akan menjadi tebusan sesuatu yang terdahulu.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah atau menghendaki selain Allah maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ جَنَاحٍ أَبُو سَعْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Artinya: Orang alim fiqih satu lebih berat dari pada seribu ahli ibadah menurut setan.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Artinya: Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim, dan meletakkan ilmu pada selain ahlinya seperti halnya mengalungi babi hutan dengan permata, mutiara dan emas.
Orang menuntut ilmu itu merupakan kemauan sendiri. Orang yang menuntut ilmu akan diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk kepada seseorang. Jika seseorang tersebut sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik, maka Allah akan memudahkannya dalam memahami agama, dan sebaliknya. Namun demikian manusia tidak boleh menyerah dan tidak boleh hanya pasrah tanpa adanya usaha. Perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya. Pembawaan seseorang baru berkembang karena mendapat pengaruh dari lingkungan.
Hadits yang kedua, ketiga dan keempat tersebut pada dasarnya sama yaitu menyatakan tentang keutamaan ilmu dan orang yang mencari ilmu.
Mencari ilmu merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan sulit. Karena dengan ilmu manusia tidak akan lagi berakhlak seperti binatang. Maka malaikatpun ridho terhadap apa yang diperbuat oleh manusia tersebut.
Hadits yang selanjutnya adalah tentang ilmu merupakan pelebur terhadap amal yang ia perbuat sebelumnya, karena orang yang beramal tanpa didasari ilmu maka amalnya tidak sah. Dan orang yang beramal tanpa ada landasan ilmu, ibarat pesawat yang terbang tanpa landasan.
Orang yang mencari ilmu atau menjalani pendidikan hendaklah berniat karena Allah. Orang yang mencari ilmu dengan niat selain Allah maka Allah akan memberikan siksaan kepadanya. Ilmu merupakan sesuatu yang mulia, dan pada dasarnya semua ilmu adalah milik Allah. Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu, akan tetapi dalam Islam ada pembagian ilmu menjadi mahmudah dan madzmumah.
Hadits yang selanjutnya menerangkan tentang keutamaan orang yang berilmu. Orang yang mempunyai ilmu lebih berat untuk digoda menurut setan daripada ahli ibadah yang jumlahnya seribu. Hadits terakhir yang penulis kemukakan dalam subbab ini adalah hadits mengenai kewajiban mencari ilmu bagi seluruh umat Islam. Sekarang ini umat Islam sudah mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan golongan orientalis. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan tersebut kita sebagai umat Islam harus senantiasa gemar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan bagian dari kebutuhan alami manusia
2. Belajar merpakan proses menuju perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik, baik melalui pembacaan, pengamatan, penelitian, perenungan dan pengalaman langsung
3. Al-Qur’an memerintahkan kaum beriman untuk belajar secara berkelanjutan, supaya mereka dapat berkembang mencapai kesempurnaan sebagai hamba Allah dan khalifahNya
4. Objek pembacaan/ pembelajaran mencakup seluruh fenomena alam semesta, manusia, sejarah, tanda-tanda zaman dll
5. Belajar merupakan jalan mencapai sukses dan kebahagiaan
6. Karakteristik atau ciri khas belajar dalam persektif al-Qura’an dan Hadist Nabi adalah:
a. Belajar bagian dari ibadah kepada Allah, karena itu harus dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh
b. Diorientasikan untuk mencapai manfaat dan kemaslahatan
c. Landasan iman senantiasa menjadi paradigma utama, karena itu ia harus mengawal pengembangan sain dan teknologi
d. Mendorong pembelajar untuk menjadi manusia yang takut dan kagum kepada Allah
e. Melibatkan potensi akal, intuisi/hati dan prerasaan serta seluruh panca indra, sehingga terjadi proses tilayah dan tazkiyah
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010)
M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998)
[1] Lihat Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010) Vol. I h, 176-177
[2] Ibid
[3] Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (terj.) , ( Jakarta : Lentera, 2002 ), hal. 47, 51
[4] Ibid, hal. 53
[5] Ibid, hal. 54
[6] M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998) h. 433